Baru-baru ini media massa ramai memberitakan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap artis pernyanyi Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar. Artikel di dalam Republika.co.id menyebutkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan pemohon Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar di Gedung MK, Jumat (17/2). Machica Mochtar menggugat Pasal 2 Ayat 2 dan Pasal 43 Ayat 1 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan perdata kepada ibunya dan keluarga ibu. Machica mengapresiasi putusan MK dan menyebutnya sebagai kemenangan seluruh anak Indonesia yang dilahirkan di luar perkawinan resmi. Menurutnya, ini kemenangan bersama anak yang mengalami nasib seperti anaknya. Menurutnya pula, anak hasil hubungan nikah siri mempunyai hak mendapat perlakuan dan pengakuan dari ayah biologis dan keluarga ayahnya.
Machica mengaku, tidak mendapat keuntungan apapun sebab tinggal melanjutkan sisa hidupnya. Itu untuk kepentingan Muhammad Iqbal Ramadhan (16 tahun), anak hasil pernikahan siri-nya dengan menteri Sekretaris Negara era Orde baru Alm. Moerdiono, imbuh Machicha, yang mendapat keuntungan terkait putusan MK. Ia menegaskan bahwa pendidikan anak dan masa depannya masih panjang. Iqbal lah yang diuntungkan, dan Machica akan mengurus akta anaknya. Machica menjelaskan, konsekuensi putusan MK membuat jati diri dan kepercayaan dirinya meningkat. Karena itu, setelah ini pihaknya akan membicarakan status Iqbal kepada keluarga Moerdiono untuk mendapat pengakuan resmi agar dimasukkan menjadi keluarga besarnya.
Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berpengaruh pada hukum waris?
Beberapa pakar memberikan pendapatnya di dalam ulasan hukumonline.com mengenai pertanyaan di atas. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HM Nurul Irfan, berpendapat putusan MK tersebut memang mengarah ke pembagian harta ayah kepada anak di luar nikah. Tapi, pembagian harta tersebut tidak bisa diimplementasikan sebagai warisan menurut konsep dasar hukum Islam, yaitu anak laki-laki mendapat harta dua kali lipat ketimbang anak perempuan. Sebab, lanjut Irfan, warisan menurut konsep dasar hukum Islam memiliki syarat seperti adanya nasab atau hubungan sah menurut pernikahan. Nasab sendiri adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan di dalam Islam melalui pernikahan yang sah. Atau, melalui pengakuan seorang laki-laki bahwa itu anaknya yang diikuti dengan adanya bukti-bukti DNA dan tes darah. Menurut Irfan, kalau mau disinkronisasi dengan konsep dasar hukum Islam jangan diberi nama waris. Kalau waris syaratnya harus ada hubungan kekerabatan yang sah. Sedangkan menurut hukum anak di luar nikah dianggap tidak sah. Jadi, anak tersebut boleh memperoleh haknya tetapi bukan nama waris, misalnya, hibah, sedekah dan lain-lain.
Sebagai gambaran dari kasus ini, permohonan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) UU Perkawinan ini efek dari perceraian artis penyanyi Machica Mochtar dan Moerdiono, mantan Mensesneg era (alm) Presiden Soeharto. Machica dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu, Moerdiono masih terikat perkawinan dengan istrinya. Lantaran UU Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan perkawinan Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA. Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut hukum (negara) dan anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Setelah bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula membiayai hidup Iqbal sejak berusia 2 tahun. Iqbal juga kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran lantaran tak ada buku nikah. Pada tahun 2008 yang lalu, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama Tangerang atas permohonan itsbath nikah dan pengesahan anak yang permohonannya tak dapat diterima. Meski pernikahannya dianggap sah karena rukun nikah terpenuhi, tetapi pengadilan agama tak berani menyatakan Iqbal anak yang sah karena terbentur dengan asas monogami itu.
Apakah dengan adanya putusan MK tersebut dapat berarti melegalkan perzinahan?
Dalam kesempatan yang sama, di dalam hukumonline.com Irfan juga membantah anggapan bahwa putusan MK tersebut ‘melegalkan’ perzinahan. Menurutnya, putusan tersebut merupakan bentuk ijtihad MK untuk melindungi hak-hak seorang anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat oleh negara. Ia menilai, anak yang lahir di luar nikah selama ini sengsara karena tak diakui secara legal hukum. Menurutnya, putusan MK semangatnya untuk membela hak anak yang terlantarkan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H.M. Amidhan mengatakan, putusan MK malah memperkuat hubungan perdata antara ayah dengan anak dan sang ibu. Menurut Amidhan, putusan MK tidak (melegalkan perzinahan), namun hanya menegaskan bahwa ada hubungan perdata dengan ayah dan ibunya. Jangan sampai sang anak menjadi anak alam (lahir di luar nikah) karena tidak diakui oleh ayahnya, oleh karena itu ditegaskan oleh MK. Ia menjelaskan istilah anak alam timbul menjelang pengesahan UU Perkawinan pada akhir tahun 1973 silam.
Menurut para pakar perumus UU, anak yang lahir di luar hubungan pernikahan disebut sebagai anak alam. Namun, anak alam tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. H.M. Amidhan menilai, putusan MK menyinggung dunia fiqih yang selama ini sudah ada. Maka untuk memperkuat hubungan perdata antara Sang Anak dengan bapaknya, harus dibuktikan dengan tes DNA. Jika hasil selingkuhan dan anak itu bisa dibuktikan dengan DNA, itu bisa dijelaskan, maka anak tersebut tanggung jawab suaminya yang menghamilinya.
Helza Nova Lita, dari Fakultas Hukum Unpad berpendapat kewenangan MK sesuai dengan UUD 1945 dan UU MK hanya judicial review bukan membuat aturan UU atau hukum baru karena itu kewenangan legislatif. Memang terkadang ada beberapa putusan MK yang melebihi kewenangannya. MK memang memiliki kewenangan membatalkan suatu UU jika bertentangan dengan Konstitusi. Namun bukan berarti perubahan dampak putusan MK untuk hal baru tetap harus melalui mekanisme pembentukan atau amandemen UU sesuai mekanisme yang berlaku.
Nah pembaca, dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak diluar nikah maupun anak hasil pernikahan siri bisa mendapatkan pengakuan dari Putusan MK, namun masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa anak luar nikah berhak atas warisan bapaknya. Dalam hal ini namanya bukan warisan, karena akan bertabrakan dengan konsep dasar hukum Islam. Namun bisa diganti dengan sedekah atau hibah.
Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan. Karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orang tuanya. Dalam hal bukti tersebut berupa hasil tes DNA, misalnya, apakah hal tersebut bisa dijadikan dasar untuk pembuatan akta kelahiran si anak tersebut, dan selanjutnya menjadi dasar untuk mencantumkan anak tersebut sebagai salah seorang ahli waris? Bagaimana pula dengan penerapan suatu kasus jual beli terhadap suatu harta peninggalan pewaris? Ada kekhawatiran di dalam praktik di masyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut?
Bagaimana pendapat pembaca? 🙂
Sumber:
Hukumonline.com
Republika.co.id
saya pikir putusan MK ini baik sebagai penemuan hukum karena anak hasil kawin siri dianggap tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya. padahal apakah anak tersebut meminta untuk dilahirkan sebagai anak hasil kawin siri? tentu tidak.
kemudian mengenai akta kelahiran. tentu seharusnya ada peraturan teknis mengenai pengakuan test DNA atau hasil teknologi lainnya yang dapat dijadikan alas hak untuk membuat akta kelahiran. mengenai penerapan suatu kasus jual beli terhadap suatu harta peninggalan pewaris, saya pikir notaris dapat membuat sesuai dengan KHW yang sah yang dibuat. perkara kemudian hari ada tuntutan dari anak yg tidak diakui, itu urusan si anak luar kawin dengan keluarga bapaknya. disana lah fungsi pengadilan. saya pikir terlalu jauh apabila kita mengira bahwa anak luar kawin menjadi dapat membatalkan jual beli. paling2 mereka menuntut hak nya kepada keluarga almarhum bapaknya.
mudah-mudahan pemerintah dan DPR dapat mengakomodir putusan MK ini dengan baik.