Kuasa Menjual Rumah
Joko memiliki asset berupa tanah seluas 1 hektar. Suatu ketika, dia menjualnya kepada Agus. Prosesnya dibantu oleh seorang notaris. Dalam prosesnya, Joko merasa dibohongi karena sertifikat tanahnya telah beralih atas nama Agus. Permasalahannya adalah, Joko tidak pernah merasa membuat akta tersebut, karena pada awalnya dia menduga itu hanya sebatas ikatan jual beli. Bisakah Joko mengajukan gugatan pembatalan akta kuasa jual? Perlukah kasus ini dilaporkan kepada pihak yang berwajib untuk penguatan gugatannya?
Pada dasarnya konsep transaksi jual beli tanah mengadopsi pada konsep hukum adat yang berlaku di Indonesia sejak jaman dahulu kala, yaitu terang dan tunai.
“Terang”, berarti dilakukan secara terbuka, jelas objek dan subjek pemilik, lengkap surat-surat serta bukti kepemilikannya. “Tunai”, berarti dibayar seketika dan sekaligus. Dibayarkan pajak-pajaknya, tanda tangan Akta Jual Beli, untuk kemudian diproses balik nama sertipikatnya.
Namun, pada praktiknya, karena berbagai alasan, konsep terang dan tunai itu seringkali belum dapat dipenuhi. Belum terpenuhi, bukan berarti transaksi tidak bisa dilakukan, ada instrumen lain, yaitu dengan Akta Pengikatan Jual Beli (PJB) sebagai pengikat, sebagai tanda jadi transaksi jual beli tersebut, sambil menunggu yang belum beres. Belum terpenuhinya persyaratan untuk AJB, bisa jadi karena pembayaran belum lunas/dicicil, sertipikat masih dalam proses pemecahan atau proses lainnya, belum mampu membayar pajak, atau kondisi lainnya yang legal.
Akta Pengikatan Jual Beli dibuat dengan 2 (dua) versi, yaitu:
- Akta Pengikatan jual beli yang baru merupakan janji-janji karena biasanya harganya belum lunas (biasa disebut sebagai: PJB Belum Lunas)
- Akta Pengikatan Jual beli yang pembayarannya sudah dilakukan secara LUNAS, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya di hadapan PPAT yang berwenang, karena masih ada proses yang belum selesai, misalnya: masih sedang dalam proses pemecahan sertifikat, masih sedang dalam proses penggabungan dan berbagai alasan lain yang menyebabkan ajb belum bisa dibuat. (biasa disebut sebagai: PJB Lunas).
Jika bentuknya adalah PJB Belum Lunas, maka di dalamnya tidak ada kuasa, kecuali syarat-syarat pemenuhan suatu kewajiban. Sedangkan jika pembayaran sudah lunas dan dibuatkan PJB Lunas, maka di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual, dari penjual kepada pembeli. Jadi, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual-karena sudah terwakili-sudah memberikan kuasa, dengan redaksi kuasa untuk menjual kepada pembeli, Notaris/PPAT dapat langsung membuatkan Akta Jual Belinya untuk kemudian memproses balik nama sertipikatnya.
Dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) menyebutkan, “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelengarakan suatu urusan”.
Kuasa untuk menjual, masuk kedalam kategori kuasa yang digunakan untuk memindahtangankan benda yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya saja, maka dari itu, untuk kuasa menjual ini, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas di dalam aktanya (Pasal 1796 KUHPerdata).
Kuasa untuk menjual ini, bisa masuk sebagai klausul dalam PJB, bisa juga berdiri sendiri, berbentuk akta tersendiri. Jadi, ketika tanda tangan, menandatangani dua akta: PJB dan Akta Kuasa Untuk Menjual. dalam hal Kuasa untuk menjual masuk sebagai klausul dalam PJB, maka yang ditandatangani hanyalah akta PJB saja.
Dalam kasus Joko tersebut, tampaknya Kuasa untuk menjual tersebut masuk sebagai klausul di dalam PJB. Sebelum penandatanganan PJB, Notaris membacakan dan menjelaskan isi dari akta untuk kemudian ditandatangani oleh Joko dan Agus sebagai tanda telah mengerti, saling setuju dan sepakat. Sebenarnya, Joko dapat membaca kembali pasal demi pasal dalam salinan akta PJB tersebut, pelajari isi dari klausulnya, karena dari sanalah dasar, langkah apa yang dapat ditempuh selanjutnya. Jika dalam klausul tersebut dinyatakan/diatur dengan kata-kata yang tegas bahwa Joko memberikan kuasa untuk menjual kepada Agus, maka pada saat terpenuhinya semua persyaratan untuk meningkatkan PJB menjadi AJB, Joko, selaku penjual, memang tidak perlu repot-repot untuk hadir kembali menandatangani AJBnya, cukup Agus sebagai pembeli saja. Pembeli (Agus) bertindak selaku kuasa dari penjual (Joko), atas dasar kuasa yang sudah ada di PJB, yang mana PJB itu telah ditandatangani dengan sempurna oleh penjual dan pembeli. Jika di PJB tidak terdapat klausul Kuasa untuk menjual, sebagai dasar sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya, maka Joko dapat melapor ke pihak berwenang.
Untuk jenis akta PJB Lunas, Kuasa Menjual yang terdapat di dalam akta PJB Lunas bersifat mutlak, artinya tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab-sebab yang diatur dalam pasal 1813 KUHPerdata. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum bagi pembeli yang sudah membayar lunas harga yang sudah dibayarkannya secara penuh namun belum bisa dilaksanakan baliknamanya karena satu dan lain hal ada syarat-syarat yang belum terpenuhi. Perlu juga diperhatikan bahwa, jika kuasa menjual ini bagian yang tak terpisahkan dari PJB Lunas, maka dalam hal akta PJB Lunas tersebut telah ditandatangani dengan sempurna tanpa ada unsur khilaf, paksaan maupun tipuan, maka proses PJB Lunas, yang dilanjutkan menjadi AJB dan sampailah pada balik nama sertipikat tersebut, memang sudah berjalan sebagaimana seharusnya.
Kecuali jika kuasa menjual yang dibuat secara murni dengan tujuan untuk menjualkan suatu asset tanpa terkait dengan akta PJB tersebut. Kuasa menjual murni tersebut dapat dicabut dengan menggunakan akta pencabutan kuasa, dalam hal jual beli dan baliknama belum dilakukan. Namun demikian, jika sudah dibaliknama, berarti akta jual beli sudah terjadi. Pembatalan jual beli harus melalui gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang jika Joko dapat membuktikan bahwa pemberian kuasa diberikan karena khilaf, ada paksaan ataupun karena penipuan.
Semoga bermanfaat! 🙂
- Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam Memahami Masalah “Hukum Waris”, Irma Devita Purnamasari, SH, MKn (Kaifa, 2014).
- Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Surat Edaran Direktur Jendral Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri No. 594/493/AGR tanggal 31 Maret 1982.
- Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Dasar Pemindahan Hak Atas Tanah”
- Pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah