Ribut-ribut mengenai rencana pemindahan ibukota, berikut ini ada tulisan sejarah pemindahan ibu kota di masa lampau yang ditulis oleh RZ. Hakim, peneliti sejarah. Artikel ini terkait dengan artikel selanjutnya tentang: “Pemindahan Ibu Kota – Melanggar Daulat Rakyat?”
Bila membicarakan Jakarta, ingatan kita segera terlempar pada salah satu pelabuhan tertua di Indonesia yaitu Sunda Kelapa. Ia adalah cikal bakal terbentuknya Jakarta, satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Iya benar, kita sedang membicarakan Ibukota Negara yang mendapat predikat Daerah Khusus Ibukota.
Sejarah Berdirinya Kota Batavia
Dilihat dari sudut pandang sejarah lampau, Pelabuhan Sunda Kelapa sejatinya sudah ada sejak abad kelima, ketika pelabuhan ini masih berada dibawah kepemilikan Kerajaan Tarumanegara. Namun pada abad keduabelas, Pelabuhan Sunda Kelapa berpindah tangan menjadi milik Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang beribukota di Pajajaran. Manakala berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda alias Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa justru berkembang pesat dan berhasil menjadi salah satu pelabuhan penting yang ada di pulau Jawa. Lokasinya yang strategis membuat para pedagang dari pelosok Nusantara maupun dari Mancanegara tertarik untuk melakukan kegiatan perdagangan di sini, di Pelabuhan Sunda Kelapa. Bahkan bangsa Portugis berani membangun relasi dengan Kerajaan Sunda hingga Portugis diberi izin oleh Kerajaan Sunda untuk membangun kantor dagang sendiri, di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa.
Rupanya hubungan antara Portugis dengan Kerajaan Sunda dipandang sebagai ancaman oleh Kerajaan Demak. Barangkali karena Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta, di saat Pelabuhan Sunda Kelapa telah dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk.
Sebagaimana yang kita tahu, di masa lampau rempah-rempah adalah komoditas menggiurkan bagi dunia Internasional. Menjadi wajar ketika di Pelabuhan Sunda Kelapa banyak bersandar kapal-kapal dari Cina, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah. Mereka membawa barang-barang seperti sutra, kopi, porselen, kain, anggur, hewan ternak seperti kuda, zat pewarna, dan sebagainya, agar bisa ditukarkan dengan rempah-rempah. Seperti itulah gambaran Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan yang berlokasi di muara sungai Ciliwung ini. Sunda Kelapa memang bukan satu-satunya pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda, sebab mereka masih memiliki pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Namun Sunda Kelapa adalah yang paling ramai.
Kala itu, raja Sunda menyepakati perjanjian persahabatan dengan raja Portugis dan memutuskan untuk memberikan tanah di mulut Ciliwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal mereka. Selain itu, raja Sunda berjanji jika pembangunan benteng sudah dimulai, maka dia akan menyumbangkan seribu karung lada kepada Portugis. Untuk apa? Maksud Kerajaan Sunda mengundang Portugis tentu demi mengamankan eksistensinya atas apriori terhadap perkembangan Islam di pulau Jawa.
Dalam sudut pandang Fatahillah, pemimpin Kerajaan Demak, kehadiran Portugis di Sunda Kelapa adalah ancaman regional terhadap seluruh kerajaan di Nusantara, khususnya pulau Jawa. Itulah alasan kenapa kemudian Kerajaan Demak bersama Kesultanan Cirebon merencanakan penyerangan atas Sunda Kelapa.
Perang tak bisa dielakkan. Hingga kemudian, pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan Kesultanan Demak-Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah menyerang dan berhasil menaklukkan pasukan Portugis dan menguasai Sunda Kelapa. Paska kemenangan tersebut, Fatahillah didaulat menjadi pemimpin di Sunda Kelapa. Ia mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang merupakan cikal bakal lahirnya kota Jakarta.
Hari lahir Kota Jakarta bukannya tanpa pertentangan. Seorang peneliti asal Jerman bernama Adolf Heyken meragukan bahwa nama Jayakarta disematkan oleh Fatahillah. Menurut Heyken, Fatahillah adalah orang Arab dan sangat tidak mungkin ia memberi nama sesuatu dengan nama dari istilah Sanskerta. Apalagi sesuatu yang sangat berharga sekaligus prestisius seperti Sunda Kelapa yang berhasil ditaklukannya.
Tokoh sekaligus budayawan Betawi Ridwan Saidi pernah angkat bicara terkait HUT DKI Jakarta yang selalu diperingati setiap 22 Juni tersebut. Menurut Ridwan Saidi, pada tanggal itu pasukan gabungan Kesultanan Demak dan Cirebon tidak hanya memerangi bangsa Portugis, tetapi juga membantai penduduk asli Sunda Kelapa, yakni orang-orang Betawi. Dari situlah, ia tidak rela kalau tanggal 22 Juni 1527 ditetapkan sebagai hari lahir Jakarta. Dikatakan pula oleh Ridwan Saidi, nama Jayakarta sudah ada sejak lama. Ada sebuah desa di Karawang yang namanya Jayakerta. Itu merupakan wilayah budaya Betawi. Desa Jayakerta diyakini sudah ada sejak zaman Siliwangi.
Kedatangan Belanda dan Pergantian Nama Jayakarta Menjadi Batavia.
Setelah Demak berkuasa, Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba pertama kali di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1596 dengan tujuan utama mencari rempah-rempah. Saat itu rempah-rempah adalah komoditas utama di Belanda karena berbagai khasiatnya seperti obat, penghangat badan, dan bahan wangi-wangian.
Di tahun 1610 Belanda bikin perjanjian dengan Penguasa Jayakarta. Dalam isi perjanjian itu, disebutkan bahwa Belanda diizinkan membuat pos dagang serta Gudang di timur muara sungai Ciliwung. Perjanjian tersebut disetujui oleh Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta, penguasa Jayakarta. Sejak tahun 1611 Kongsi Dagang Belanda yang kita kenal sebagai VOC, mereka mulai membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Pembangunan itu bersamaan dengan dibangunnya Gudang. Alhasil, dalam waktu singkat Belanda meraup keuntungan yang besar dari perdagangan rempah-rempah. Melihat kenyataan itu, Belanda tergelitik memutuskan untuk melakukan ekspansi di Jayakarta, hingga kemudian mereka mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.
Baca juga; Pemindahan Ibu Kota – Melanggar Daulat Rakyat?
Pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, pihak yang justru memberi mereka izin untuk berdagang. Tak hanya itu, Belanda pun membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Hingga akhirnya Belanda dapat menguasai seluruh kota. Semula Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, akan tetapi De Heeren Zeventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang orang Batavia. Kota ini di kemudian hari dijadikan Ibukota oleh pihak Belanda.
Di bawah kekuasaan Belanda, pelabuhan Sunda Kelapa segera direnovasi. Tadinya pelabuhan tersebut hanya memiliki kanal sepanjang 810 meter, oleh Belanda diperbesar hingga menjadi 1.825 meter.
Pada 4 Maret 1621, untuk pertama kali juga, Belanda membentuk Pemerintah Kota bernama Stad Batavia. Kota yang semula bernama Jayakarta ini dibumiratakan. Kemudian dibangun banteng. Ada galian parit di bagian depan benteng. Di bagian belakang dibangun gudang yang juga dikitari parit, pagar dari besi, serta tiang-tiang yang kokoh. Selama delapan tahun kota Batavia sudah meluas tiga kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Untuk pembangunan kota Batavia, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Seperti itulah gambaran singkatnya, selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting.
Pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (berkuasa pada 1808-1811), pernah ada wacana untuk memindahkan Ibukota Batavia. Deandels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya. Alasan Daendels setidaknya ada dua, yaitu karena di Batavia terdapat banyak sumber penyakit. Alasan kedua adalah karena di Surabaya telah ada banteng dan pelabuhan. Namun rencana pemindahan Ibukota pemerintahan tersebut urung terlaksana.
Memasuki Abad keduapuluh, nama Batavia berturut-turut mengalami pergantian, yaitu mula-mula pada 1 April 1905 berubah nama menjadi Gemeente Batavia. Ada embel-embel Gemeente sebab waktu itu di Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tigapuluh tahun kemudian, tepatnya pada 8 Januari 1935 ia berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan dari Belanda, ia pernah mengusulkan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda. Ia memiliki argumentasi bahwa Batavia bukan tempat yang tak layak sebagai pusat pemerintahan. Salah satu alasannya adalah karena Batavia juga salah satu kota pelabuhan yang pada umumnya berhawa panas, tidak sehat, serta mudah terjangkit wabah.
“Kota-kota pelabuhan di pantai Jawa sudah terasa panas dan semangat pekerja turun karena cepat lelah,” kata Hendrik.
Hendrik mengusulkan memindahkan pusat pemerintahan Hindia Belanda ke Bandung. Usulannya terlaksana di masa Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum menjelang 1920. Stirum sendiri menjabat Gubernur Jenderal pada 1916-1921.
Pemindahan ibu kota Hindia Belanda pun dieksekusi menjelang 1920, diawali perpindahan kantor Jawatan Kereta Api Negara, Pos dan Telepon, Departement van Geovernements Bedrijven (GB) yang membawahi Dinas Pekerjaan Umum. Departement van Geovernements Bedrijven menempati Gedung Sate yang dibangun dengan biaya enam juta Gulden dan dirancang oleh arsitek J. Gerber. Secara keseluruhan, perpindahan kantor-kantor ini selesai pada 1920.
Memindahkan Ibukota dari Batavia ke Bandung tentu tak bisa dilakukan selekasnya. Masih ada tahapan-tahapan lain untuk segala persiapannya. Semisal Hindia Belanda tidak tersentuh oleh pendudukan Jepang, boleh jadi segala hal yang telah dipersiapkan tersebut (mengenai pemindahan Ibukota) akan berjalan seperti yang direncanakan. Ketika dilakukan proses pemindahan terakhir yaitu pemindahan kantor Gubernur Jenderal yang dipindahkan pada awal Maret 1942, Belanda mulai ditekan oleh Jepang di Batavia. Itu terjadi di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Tjarba van Starkenburg Stakhouwen. Beberapa hari kemudian, Belanda menyerah kepada Jepang. Proses pemindahan pusat pemerintahan ke Bandung menjadi tidak sempurna dan kandas.
Nasib Batavia di Masa Pendudukan Jepang.
Ketika Jepang datang merangsek Batavia ia merubah nama Kota Batavia menjadi Djakarta Toko Betsu Shi, pada 8 Agustus 1942. Digantinya nama Batavia menjadi Djakarta (oleh Jepang) dimaksudkan untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.
Indonesia Merdeka.
Ketika Indonesia merdeka, nama Jakarta tetap dipakai. Tentu nama Batavia tak lagi digunakan karena tak sesuai dengan semangat saat itu. Di masa kemerdekaan tersebut, Jakarta kembali menjadi ibukota Indonesia. Menjelang terjadinya Agresi Militer Belanda yang pertama, kemudian disusul dengan Agresi Militer Belanda yang kedua, dilakukan pemindahan ibukota secara administratif.
Pada 4 Januari 1946, Presiden Sukarno memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta untuk pertama kalinya. Alasan yang paling mendasar pada saat itu adalah karena Jakarta telah jatuh ke tangan Belanda. Sementara Yogyakarta dinilai paling siap dari sisi ekonomi, politik, dan keamanan. Akan tetapi, terjadinya Agresi Militer Belanda yang kedua pada 29 Desember 1948 mengakibatkan Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya Presiden Sukarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat.
Di antara Agresi Militer pertama dan kedua, pemerintah pernah membentuk Panitya Agung yang bertugas menyelidiki dan merencanakan penempatan ibukota negara. Itu dimulai pada tahun 1947. Presiden Sukarno termasuk salah satu anggota Panitya Agung. Panitya Agung dibentuk di tengah kekacauan yang terjadi di Jakarta akibat pendudukan oleh pasukan Belanda. Saat itu, posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan telah bergeser ke Yogyakarta. Dari Panitya Agung inilah muncul sejumlah daerah selain Jakarta yang ditimbang layak menjadi ibukota negara. Daerah itu antara lain Bandung, Malang, Surabaya, Surakarta, hingga Kabupaten Temanggung dan Magelang. Sayangnya, hingga Revolusi Mempertahankan Kemerdekaan telah usai dan pemerintahan kembali ke Jakarta, kabar tentang kinerja Panitya Agung tak ada kejelasan. Rencana pembangunan ibukota negara yang baru hanyalah tinggal rencana.
Meskipun tiada kejelasan mengenai kinerja Panitya Agung, namun bila bicara tentang wacana pemindahan ibukota, orang selalu antusias.
Daerah Khusus Ibukota pertama kali tertuang dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No. 2 Tahun 1961 Tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS No. 2 Tahun 1961. Keberadaan Undang-undang ini seolah mengakhiri wacana tentang pemindahan ibukota negara. Wacana pemindahan tersebut semakin surut manakala dipertegas dengan hadirnya UU No. 10/1964 yang menyatakan Jakarta tetap sebagai ibukota negara, dengan nama Jakarta.
Lama kemudian, di era kepemimpinan Suharto, gagasan pemindahan ibu kota muncul kembali dengan mengusulkan daerah Jonggol, Bogor, sebagai Ibu Kota negara. Sayang, gagasan tersebut tak sempat terwujud terkait Suharto lengser terlebih dahulu dari jabatan Presiden pada 1998.
Pada tahun 1999, melalui UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, sebutan Pemerintah Daerah berubah menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan otonominya tetap berada di tingkat Provinsi dan bukan pada wilayah kota, selain itu wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi enam—lima wilayah Kotamadya dan satu Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Pemindahan ibu kota kembali ramai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2010. Waktu itu SBY menawarkan tiga opsi untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota maupun pusat pemerintahan dengan pembenahan total. Kedua, Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain. Terakhir, membangun ibu kota baru.
Ketika Jakarta dilanda banjir besar pada 2013, masih di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pemindahan ibukota mencuat kembali.
Di era pemerintahan Jokowi, wacana mengenai pemindahan ibukota muncul pada 2017, kemudian dibahas lagi pada 2018, hingga dibawa dalam rapat terbatas pada 29 April 2019.
Demikian kisah tentang Ibukota Jakarta dari masa ke masa.
Referensi :
– budayawan Betawi Ridwan Saidi
– (Perpres) No. 2 Tahun 1961
– UU No. 10/1964
– UU No. 34 Tahun 1999