Setelah beberapa waktu lalu ramai dengan kisah ‘Layangan Putus’, kini dunia maya khususnya twitter sempat ramai gara-gara kisah ‘Married For 12 Days’. Pasalnya, ada sebuah akun yang membuat utas tentang pengalaman pribadinya menjalani pernikahan hanya selama 12 hari. Sebut saja Namanya Rina. Suatu ketika, pada pertengahan 2018 lalu, dia bertemu dengan Wawan. Singkat cerita mereka saling suka dan sering berhubungan setiap hari, baik melalui chat maupun bertemu langsung. Tidak ada keputusan pacaran antara keduanya. Pada tanggal 20 April tahun 2019, Wawan mengutarakan niatnya untuk menikahi Rina. Ia sendiri yang menghadap Ayah Rina, dan memberitahukan bahwa akan membawa keluarganya untuk melamar Rina.
Bagi Rina, Wawan adalah sosok pria baik dan lembut. Selama satu tahun berhubungan, tidak pernah ditemui, wawan bersikap kasar kepadanya. Ia dibesarkan oleh Ibunya, karena Ayahnya telah meninggal. Namun setelah dewasa dan bekerja, Wawan adalah anak yang patuh dan taat serta menjadi tulang punggung keluarga. Hal itulah yang membuat Rina terpesona dan yakin ketika Wawan melamarnya. Singkat cerita, dari hasil pertemuan itu diputuskan bahwa mereka akan menikah pada 13 Desember 2019. Awalnya Rina menyangka bahwa pernikahannya akan berlangsung tahun 2020. Namun karena tanggal itu adalah keputusan bersama antar keluarga, maka Rina meyakinkan diri untuk menjalaninya.
Masalah muncul satu bulan sebelum pernikahan, namun dalam utas tersebut, tidak dijelaskan apa permasalahannya. Rina hanya menceritakan bahwa pada saat itu Wawan berkata dan bertindak kasar hingga membentak. Rina kaget karena itu jauh dari kepribadian Wawan yang dikenalnya. Namun karena persiapan keluarga sudah matang, Rina tidak menceritakan permasalahan tersebut. Dia memendamnya sambil berharap agar nanti ketika menikah Wawan tidak melakukannya lagi. Sudah menjelang pernikahan, ada sedikit ragu terselip karena sikap Wawan yang begitu tiba-tiba berubah. Singkat cerita, h-10 menjelang pernikahan munculah lagi masalah masalah baru yang tidak sengaja lewat chattingan whatsapp antara Wawan dan Kakak Iparnya. Rupanya, mereka berdua sering terlibat obrolan yang membicarakan Rina. Lebih ke ghibah, tepatnya. Namun Rina masih memendamnya dalam hati dan tidak menceritakannya pada siapa-siapa.
Sampai pada hari pernikahan tiba, semua prosesi akad berjalan lancar. Namun usai pernikahan, sikap Wawan berubah total. Memasuki hari keempat mereka menikah mulai muncul keanehan. Dia tidak pernah mengajak Rina berhubungan layaknya suami istri yang telah menikah. Wawan juga tidak pernah mau memakan masakan Rina. Ketika mereka menginap di rumah Wawan, keluarganya sering menggunjingnya. Kemudian, semakin hari semakin aneh sikap Wawan. Dia sering pulang larut malam dan jarang pulang. Rina menjadi semakin bimbang dan diliputi ketakutan akan masa depan rumah tangganya ke depan.
Hingga mendekati hari keduabelas pernikahan mereka, Rina sakit muntaber. Dia ada di posisi rumahnya Wawan. Namun saat itu, Wawan sama sekali tidak peduli kepadanya dan bersikap acuh tak acuh. Setelah itu Rina ditinggal kerja, dia sendirian dan tidak ada orang di rumahnya. Karena Rina tidak kuat dan lemas, akhirnya dia menghubungi Ayahnya. Setelah dijemput dan dibawa pulang ke rumahnya, Rina akhirnya menceritakan semuanya. Ayahnya memutuskan pergi ke rumah Wawan untuk menanyakan persoalan Rina. Di sana Ayahnya bertemu dengan Omnya Wawan, yang menjadi wali Wawan. Ketika di sana, Omnya Wawan, menghubungi Wawan lewat telepon. Namun Wawan hanya bilang, bahwa dia tidak bisa melanjutkan pernikahannya dengan Rina lagi. Tanpa penjelasan apapun. Sejak pernyataan itu, Rina hanya bisa menghubunginya dan mendapatkan penjelasan bahwa dia masih trauma dengan masa lalunya. Hanya itu dan tanpa penjelasan. Dan kemudian Wawan menghilang tanpa penjelasan hingga sekarang.
Ah, sebuah kisah panjang yang mengharukan ya. Sedih tentu saja mendengarnya. Pernikahan adalah sebuah ikatan yang bukan main-main. Keputusan untuk menikah harusnya melalui pertimbangan yang matang. Jika alasannya adalah masih trauma dengan masa lalu, sudah seharusnya tidak melakukan hal seperti yang dilakukan Wawan kepada Rina. Ketika komitmen telah diucapkan, segala permasalahan yang nantinya muncul setelah pernikahan harusnya bisa dikomunikasikan baik-baik sebelum ada ucapan kata berpisah dan tidak bisa meneruskan pernikahan. Apalagi untuk ukuran pernikahan yang masih usia hari. Lantas bagaimanakah posisi Rina sekarang? Apakah bisa yang menimpanya bisa diselesaikan dengan pembatalan nikah?
Dalam hukum Islam, ikatan pernikahan disebut dengan mitsaqon ghalizhon (perjanjian yang amat kuat), sehingga suami istri perlu menjaga komitmen dan memelihara dengan baik. Dari kacamata Islam, perceraian memang bersifat mubah, yang artinya diperbolehkan namun tindakan ini dibenci oleh Allah. Hal tersebut berarti, pasangan suami istri perlu menjaga dengan baik meskipun faktanya ada beragam faktor yang nanti di kemudian hari menyebabkan perpisahan atau perceraian terjadi. Namun dalam Hukum Perkawinan, selain perceraian ada juga pembatalan nikah. Apa sih perbedaan mendasar keduanya? Yuk, simak penjelasannya ?
Salah satu alasan untuk suatu perkawinan dapat dibatalkan yakni pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri (lihat Pasal 27 ayat [2] UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan – “UUP”).
Dalam Islam, berlaku ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 72 ayat (2) KHI yang juga menentukan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUP jo Pasal 72 ayat (2) KHI, salah sangka terhadap diri pasangannya memang dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan.
Peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur mengenai jangka waktu berapa lama salah sangka terhadap suami atau istri harus diketahui. Tapi UUP dan KHI mengatur jangka waktu permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan setelah salah sangka itu diketahui, yakni, dalam jangka waktu 6 bulan setelah diketahui adanya salah sangka terhadap suami atau istri. Jadi untuk kasus Married For 12 days di atas, dapat dilakukan pembatalan pernikahan meski usia pernikahan baru 12 hari. Namun, jika dalam jangka waktu 6 bulan setelah salah sangka itu diketahui suami istri masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menjadi gugur (Pasal 27 ayat [3] UUP jo Pasal 72 ayat [3] KHI).
Menurut Pasal 25 UUP, gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan sesuai daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan, tempat tinggal bersama suami dan istri, atau tempat tinggal suami atau istri. Atau, bagi penganut agama Islam diajukan kepada pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan (Pasal 74 ayat [1] KHI). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agamajo.
Pembatalan pernikahan merupakan mekanisme yang dijamin hukum. Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut tegas bahwa ‘perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan’. Permohonan pembatalan dapat diajukan isteri atau suami.
Apa saja sih alasan yang bisa dikemukakan untuk mengajukan pembatalan nikah? Dalam hal ini, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Yang pertama adalah, menikah karena perjodohan atau karena dipaksa oleh orang tua. Para calon bisa mengajukan pembatalan pernikahan dengan dasar Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Dalam hal tersebut, diatur mengenai syarat dilangsungkannya perkawinan yang salah satunya adalah bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Lebih lanjut, di dalam penjelasan Pasal 6 UU Perkawinan diuraikan sebagai berikut:
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.”
Terhadap suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan tersebut, maka terhadap perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalannya (lihat Pasal 22 UU Perkawinan). Karena itu, perkawinan yang dilakukan tidak atas persetujuan kedua calon mempelai (tapi atas dasar paksaan), maka terhadap perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalannya. Istri adalah salah satu pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan (lihat Pasal 23 huruf a UU Perkawinan)
Yang kedua, apabila suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama. Ketiga, perempuan yang dinikahkan masih sah menjadi istri dari pria lain. Keempat, perempuan yang dinikahkan masih dalam masa iddah suami lain. Kelima, perkawinan melanggar batas umur perkawinan. Keenam, perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
Sementara itu, dalam hukum islam ada dua keadaan yang memungkinkan pasangan untuk memutuskan pernikahan. Yang pertama dengan talak atau cerai dan yang kedua dengan pasakh atau pembatalan pernikahan. Talak merupakan pelepasan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Sedangkan pasakh adalah pembatalan ikatan perkawinan antara seorang istri dengan suaminya setelah diketahui ada sebab-sebab tertentu.
Dalam hukum Islam, Pasakh terjadi akibat beberapa alasan diantaranya adalah :
- Tidak terpenuhinya syarat-syarat pernikahan sehingga menjadikan tidak sah, misalnya menikah dengan orang yang haram dinikahi dan menikah tanpa wali
- Adanya hal-hal lain yang merusak pernikahan setelah terjadinya akad, misalnya salah satu pasangan berpindah agama
- Adanya cacat, baik cacat mental atau cacat pada bagian-bagian tubuh tertentu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kewajiban suami istri. Salah satu pasangan dapat memilih apakah perkawinan tersebut akan dilanjutkan atau dibatalkan
- Ketidakmampuan suami dalam memberikan mas kawin atau nafkah
- Suami mahfud atau hilang tanpa kabar berita
Sementara itu, dalam Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menambahkan frasa ‘penipuan atau salah sangka’, sehingga menjadi:
“Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri”.
Jika merasa ada penipuan yang dilakukan suami, maka UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan hak untuk mengajukan permohonan pembatalan pernikahan. Penipuan yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataannya. Seperti penipuan identitas, jenis pekerjaan, status perkawinan (jejaka,, perawan, duda atau janda).
Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan ini dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Apa saja sih yang harus disiapkan? Adapun yang harus disiapkan untuk mengajukan gugatan cerai atau permohonan pembatalan perkawinan adalah:
- surat gugatan/surat permohonan;
- akta perkawinan;
- bukti identitas penggugat dan tergugat (KTP dan/atau passport);
- surat kuasa (apabila menggunakan kuasa); dan
- bukti-bukti yang mendukung alasan gugatan atau permohonan.
Yang dimaksud dengan bukti-bukti untuk memperkuat alasan gugatan biasanya lebih banyak pada kasus penipuan status pasangan. Hal tersebut bisa diperkuat berdasarkan bukti chatting, status di media sosial, keterangan saksi, dan pernyataan lisan. Di Pengadilan Agama, alat-alat bukti yang dikenal adalah:
- Alat bukti surat (tulisan)
- Alat bukti saksi
- Persangkaan (dugaan)
- Pengakuan
- Sumpah
Perbedaan mendasar antara perceraian dan pembatalan nikah adalah pada status setelahnya. Proses pembatalan pernikahan dan perceraian tidak sama. Bedanya ada pada hasil akhirnya. Perceraian masih mengakui pernikahan secara legal, sedangkan pembatalan perkawinan tidak lagi menganggap perkawinan itu ada. Jadi, di pembatalan nikah itu nantinya semua catatan pernikahan akan dihapus. Selain itu juga ada di status setelahnya. Jika bercerai, maka hasil akhir statusnya adalah janda untuk perempuan dan duda untuk laki-laki. Namun hal ini berbeda jika pasangan telah melakukan pembatalan pernikahan, maka hasil akhir status setelahnya adalah seperti semula. Jika di kartu tanda penduduk adalah belum menikah. Apalagi jika kasusnya seperti Rina, yang setelah menikah hingga masa pembatalan menikah belum pernah sama sekali melakukan hubungan suami istri.
Nah, demikian penjelasan terkait pembatalan nikah. Untuk permasalahan Rina dalam kisahnya di Married For 12 Days, dengan posisi seperti itu, dia dapat mengajukan gugatan/permohonan pembatalan nikah atas apa yang dialaminya setelah 12 hari masa perkawinan. Semoga kisah ini bisa menjadikan pembelajaran kita Bersama. Bahwa komitnem untuk menikah memang bukan main-main ya. Sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, sudah seharusnya bisa mengkomunikasikan hal ini terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk meninggalkan pasangannya begitu saja. Ingat ya, dalam sebuah hubungan komunikasi itu penting. Selain itu, juga menjadikan pembelajaran bagi kita semua agar mengambil banyak pertimbangan sebelum memilih pasangan untuk menikah. Jangan sampai permasalahan yang terjadi pada Rina menimpa kita juga.
Dengarkan juga spotify kita yang tidak kalah menarik mengenai perjanjian kawin
Referensi :
– Pernikahan Hukum Islam
– Undang – Undang Perkawinan
Sumber gambar:
– http://bit.ly/2RHdEcd
– http://bit.ly/37ko2NL
– http://bit.ly/2GeSTiL
– http://bit.ly/2v7bACD