Pilih Arbitrase atau Pengadilan ?
Bila mencermati setiap Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai produk dan kegiatan yang tercakup dalan ekonomi Syariah, maka sebagian besar Fatwa DSN mencantumkan ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah. Hanya fatwa yang terkait dengan kegiataan pendanaan (Funding) yang tidak mencantumkan ketentuan tentang Badan Arbitrase Syariah. Secara prinsip, dimasukannya ketentuan Badan Arbitrase Syariah dalam Fatwa adalah pemikiran yang baik. Pelaku usaha Syariah akan memperoleh perlindungan hukum dari arbiter-arbiter Badan Arbitase yang sangat mengerti skim ekonomi Syariah.
Dalam kontek Ushul Fiqih, sebuah Fatwa dijadikan dasar hukum bagi umat Islam dalam menentukan arah kebijakan pelaksanaan muamalah. Apakah yang diperbolehkan atau dilarang oleh Fatwa, akan menjadi pedoman pelaku usaha untuk melaksanakan kegiatan ekonomi (syariah). Pedoman tersebut menjadi terlegitimasi dan berhak menyandang ‘produk sesuai syariah’ ketika seluruh pelaksanaan kegiatan ekonomi telah sesuai dengan Fatwa.
Sedangkan apa yang dilarang oleh Fatwa maka menjadi pantangan atau larangan pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan tersebut. Implikasinya ketika suatu kegiatan ekonomi tidak sejalan dengan Fatwa, maka kegiatan ekonomi tersebut tidak lagi berhak menyandang ‘Produk sesuai Syariah’. Dikaitkan dengan adanya ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah dalam Fatwa DSN, maka sudah menjadi kewajiban bagi pelaku usaha bisnis ekonomi Syariah untuk menggunakan lembaga Badan Arbitrase Syariah bagi tempat penyelesaian sengketa dan perselisihan bagi para pelaku usaha Syariah.
Namun demikian, tidak mudah bagi Para Pelaku Usaha Syariah untuk memilih arbitrase Syariah sebagai tempat ideal untuk menyelesaikan sengketa. Kendala pertama adalah keterbatasan keberadaan Arbitrase Syariah di seluruh wilayah Indonesia. Tidak semua provinsi memiliki Badan Arbitrase Syariah. Akibatnya para pihak akan kembali menggunakan Pengadilan Negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa. Untuk kendala pertama ini, nampaknya Basyarnas sebagai satu-satunya Badan Arbitrase Syariah di Indonesia terus berupaya untuk mendirikan Badan Arbitrase Syariah di Tanah Air.
Kendala kedua adalah Badan Arbitrase tidak memiliki perangkat atau dasar hukum untuk melakukan penetapan sita, pelaksanaan lelang atau proses pengosongan atas sebuah bangunan sengketa misalnya. Putusan Badan Arbitrase (baik Syariah ataupun tidak) harus diikuti dengan permohonan ke Pengadilan Negeri (yang penarapan hukumnya sangat konvensional) untuk kemudian dilakukan proses hukum selanjutnya (sita, lelang, pengosongan,dll). Karenanya pihak-pihak bersengketa harus melalui dua lembaga yang berbeda (Badan Arbitrase Syariah dan Pengadilan Negeri) untuk dapat menyelesaikan sengketanya.
Kendala ketiga adalah dari sisi eksekusi atas jaminan Bank. Sesuai Undang-Undang Hak Tanggungan, sertifikat tanah yang telah dibebankan Hak Tanggungan, tidak perlu diajukan proses gugatan (baik melalui Pengadilan Negeri maupun Badan Arbitrase) yang memerlukan tahapan pembuktian yang sangat lama, namun cukup mengajukan permohonan penetapan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri. Karenanya peran Badan Arbitrase dalam pelaksanaan eksekusi jaminan tidak diperlukan dan dapat dikesampingkan.
Namun masalah menjadi muncul, ketika nasabah macet tersebut mengajukan gugatan bantahan atas permohonan eksekusi lelang tersebut, dengan mengajukan alasan misalnya hutang nasabah kepada bank syariah tidak sebesar yang dimintakan bank syariah atau alasan-alasan lain yang direkayasa. Atas upaya hukum Nasabah tersebut, Pengadilan Negeri biasanya akan menghentikan proses eksekusi lelang, untuk kemudian memeriksa keberatan nasabah tersebut dengan membentuk majelis hakim lengkap. Maka bergulirlah gugatan bantahan tersebut menjadi perkara gugatan biasa di Pengadilan Negeri yang memerlukan proses yang lama dan berjenjang. Proses inilah yang justru mengenyampingkan peran Badan Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa Pelaku Usaha Syariah.
Dapat saja dalam persidangan gugatan bantahan tersebut, Bank Syariah menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa sengketa transaksi Syariah terebut. Karena dalam akad pembiayaan telah ditentukan tempat penyelesaian sengketa adalah Badan Arbitrase Syariah. Namun demikian, hal tersebut memerlukan waktu yang lebih lama (juga biaya tentunya) sampai Majelis Hakim menentukan putusan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa kasus ini. (itupun bisa di Banding dan di Kasasi). Lalu dimulailah persidangan baru di Badan Arbitrase Syariah. Sungguh amat melelahkan tentunya bagi pihak yang bersengketa.
Dalam suatu kesempatan Penulis pernah menuturkan kepada Ketua Mahkamah Agung tentang repotnya bersengketa dalam transaksi syariah. Juga diusulkan agar Pengadilan Agama saja yang mengambil peran Pengadilan Negeri sekaligus sebagai tempat menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah. Dari sisi Syariah, para Hakim di PA tentunya sedikit banyak mengerti mengenai kaidah-kaidah syariah. Saat itu, Bapak Ketua MA yang bijak memahami kesulitan para lembaga keuangan syariah, namun demikian Undang-Undang yang mengatur saat ini masih belum dapat mengakomodir keinginan pelaku syariah. DPR telah mengesahkan UU Pengadilan Agama? Semoga saja, UU Peradilan Agama yang baru dapat mengakomodir keinginan tersebut. Sehingga kendala-kendala yang ada dapat diminimalisir.
Artikel kiriman dari sabahat LUKITA TRI PRAKARSA, SH, MSi (Red) selaku kontributor dalam blog ini
Penulis adalah Praktisi Hukum & Ekonomi Syariah yang bermukim di Melbourne *Tulisan ini merupakan pengalaman dan pendapat pribadi
nah, lalu repotnya di sebelah mana bu, apa ada perbedaan penyelesaian sengketa melalui forum abitrase dan pengadilan khususnya dalam bisnis syariah ini? lalu untuk konsumen bagaimana?
Bantu jawab ya mas Anggara..
Pertama, Pedoman para praktisi ekonomi syariah itu kan selain hukum2 positif yg berlaku, juga berpedoman pada Fatwa MUI. Diawal artikel, sudah dijelaskan bahwa dalam Fatwa MUI, bila menemui sengketa transaksi ekonomi syariah, maka para praktisi harus menyelesaikan melalui mekanisme arbitrase Syariah (bentukan MUI). Tujuannya sih bagus, namun ternyata insfrastrukturnya tdk mendukung. Tidak semua daerah punya arbitrase syariah. Sehingga kalau mas Anggara tinggal di Ujung Kulon misalnya, maka bila bersengketa dg Bank Syariah (Cabang Banten)tetap harus datang ke Jakarta (kantornya Arbitrase Syariah hanya untuk bersidang 1 jam. Repot kan… Beda kalau diselesaikan di Pengadilan Agama setempat saja.
Kedua, bagi Bank Syariah sendiri juga tidak praktis, karena Arbitrase tidak memiliki kewenangan2 eksekusi jaminan Bank. Bank Syariah tetap harus menghubungi Pengadilan Negeri untuk melaksanakan eksekusi jaminan Bank. Akibatnya bukannya lebih cepat, malah memperlambat penyelesaian sengketa.
Sengketa yang dialami Bank Syariah, bukan hanya dengan pihak luar saja, tetapi justru lebih banyak dengan nasabahnya.
Semoga cukup jelas ya Mas Anggara…
Lukita (Penulis)
waduh, ternyata yang jawab malah petinggi bank muamalat (ini karena tulisannya yaa pak/bu), maksud saya tadinya tulisan ini tidak rinci membahas di sisi mana letak repotnya, apalagi jika klausula arbitrase tidak masuk dalam perjanjian tersebut.
Dan saya nggak ngerti apakah fatwa MUI tersebut mempunyai kekuatan mengikat secara hukum? Jika iya, lalu bagaimana bentuk implementasi dan enforcementnya. Terima kasin untuk infonya
he.he. iya pak anggara. Karena memang ini artikel dari sahabat lukita, sehingga beliau yang lebih kompeten dalam menjawab hal tersebut. Salam hangat dari saya,
irma (temennya penulis) 🙂
Permisi..ikutan nimbrung ah. Kelihatannya bung Lukita belum selesai dengan tulisannya sebab memang terasa menggantung. Lalu mengenai Fatwa MUI menurut saya sih belum punya kekuatan mengikat secara hukum kecuali kalo fatwa itu sudah diserap kedalam suatu UU. Misalnya fatwa tentang larangan riba (bunga/interest) bagi kaum muslim. Selama tidak ada UU yang melarangnya maka tidak ada hukuman bagi orang-orang muslim yang tetap melakukan hal tersebut. Paling-paling yang ada adalah himbauan untuk mematuhi fatwa dimaksud. Bagaimana bung Lukita?
Salam hangat untuk sahabatku Yogaswara,
Senang rasanya semakin banyak yg nimbrung dalam diskusi mengenai perbankan Syariah. Berarti semakin banyak yg tertarik dengan ekonomi syariah ini.
Pertama-tama, Saya perlu mengkoreksi rasanya artikel yg ditampilkan tidaklah utuh. Saya baru sadar ketika kembali membaca komen dari rekan Saya Yogaswara dan mas Anggara, Semoga Mbak Irma dapat memperbaikinya.
Mengenai soal Fatwa, memang benar sebuah Fatwa tidak memiliki kekuatan hukum di negara Indonesia ini. Namun demikian, sesuai dengan Pasal 1339 KUH Perdata,dijelaskan bahwa suatu perjanjian tdk hanya mengikat utk hal2 yang ditegaskan didalamnya, tetapi juga utk segala sesuatu yg menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau UU. Sehingga analoginya, jika para pihak tunduk untuk menjalankan transaksi ekonomi syariah (notabene sesuai dg fatwa MUI), maka Fatwa MUI menjadi dasar pijakan dalam transaksi tsb.
Sebagai informasi,Dalam RUU Perbankan Syariah akan dibentuk suatu Komisi bernama Komisi Perbankan Syariah yg bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Komisi ini nantinya yang akan menjustifikasi apakah sebuah Fatwa dapat dijadikan peraturan perundang-undangan yang mengikat bagi Perbankan Syariah dan Nasabahnya.
Semoga dapat menjawab pertanyaan2 dari sahabat-sahabat Saya ini.
Luki
Dear mas lukita, mas yogaswara dan pak anggara, saya juga baru sadar bahwa tampilan artikel ini agak error, padahal saya cek di admin lengkap, dan memang sempat tampil secara lengkap. Akan segera saya perbaiki ya… mohon maaf… dan terima kasih sudah turut meramaikan blog saya 🙂
Ternyata artikelnya tidak tampil lengkap toh :D, sempat bingung bacanya, namun setahu saya (CMIIW) UU Peradilan Agama yang baru sudah memasukkan ini sebagai bagian dari kewenangan Pengadilan Agama. Satu lagi kritik saya terhadap arbitrase, lembaga arbitrase jauh lebih konservatif dari pengadilan dalam pemeriksaan hukum, meski dalam acara perdata formalitas memegang peranan penting tetapi pemeriksaan materiil juga penting. Ini berbeda dengan arbitrase yang hanya memeriksa formalitasnya saja.
Saya sempat datang di acara Islamic Finance di Singpura, menarik. Ternyata banyak aspek yang bisa dipelajari
Thanks buat komentarnya mas Anggara.
Benar sekarang memang sudah diakomodir di UUPA yang baru. Tulisan ini saya buat utk Republika sekitar Juni 2006 pada waktu UU Pengadilan Agama masih menjadi RUU. Tujuannya mendukung para akamedemisi (seperti dosen Saya bu Neng Djubaidah)memasukan ekonomi syariah dalam kewenangan Pengadilan Agama. Saya ambil dari sisi praktisinya berdasarkan pengalaman Saya. Waktu itu banyak pro kontra mengenai masuknya ekonomi syariah menjadi bagian kewenangan Pengadilan Agama.
Kalau Saya tdk salah RUU PA menjadi UU sekitar awal 2007.
Masih banyak yang harus dilakukan para praktisi hukum untuk mendukung pengembangan ekonomi Syariah. Karena kadang antara Syariah dan hukum positifnya tidak singkron. Jadi tulisan dan dukungan dari praktisi hukum akan sangat membantu. Kapan lagi bisa melakukan Hablum minna Nash berbarengan dengan hablum Minnallah. (bener ngak nulisnya?).
untuk eksekusi jaminan fidusia, apakah sama dengan eksekusi objek jaminan yang lain seperti hak tanggungan?saya jg pernah bertanya bahwa akta jaminan fidusia dalam pembiayaan di bank syariah tidak didaftarkan,lalu akibatnya terhadap eksekusi objek fidusianya bagaimana?mengingat jaminan fidusia mempunyai hak kebendaan dan terhadap penyelesaiannya dapat didahulukan tanpa ada putusan pengadilan dan harus dibuat secara notaril.
kebetulan saya sdg menyusun tesis mengenai pembiayaan murabahah dengan menggunakan jaminan fidusia.
mungkin ibu bs memberi masukan utk pengetahuan saya, terima kasih.