Mimi menikah dengan Francois, warga negara Perancis di Indonesia. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua anak, Claudia (7 tahun) dan Pierre (3 tahun). Pada saat memutuskan untuk menikah Mimi sudah tahu resiko menikah dengan WNA. Namun setelah menikah selama 8 tahun, perkawinan mereka berdua mulai tidak harmonis. Mimi dan Francois sering berselisih paham dan banyak permasalahan mereka yang tidak terpecahkan. Makin lama Mimi merasakan Francois sudah berbeda dan mereka sudah tidak sejalan lagi. Karena Mimi merasa sudah tidak tahan dengan masalah rumahtangganya, akhirnya Mimi memilih jalan untuk bercerai. Mimi khawatir bila hak asuh kedua anaknya jatuh ke tangan Francois. Sebenarnya kasus Mimi hanyalah salah satu diantara banyak kasus perceraian pada perkawinan campuran. Memang, di masa globalisasi ini perkawinan campuran merupakan suatu hal yang sangat umum. Namun kehidupan perkawinan campuran tidak semuanya berakhir dengan kebahagiaan, ada kalanya perkawinan harus berakhir dengan perceraian. Perceraian pada pernikahan campuran membawa masalah yang berkepanjangan terutama sengketa hak asuh anak dan harta bersama.
Sebelum terbitnya UU No. 12 tahun 2006, perkawinan campuran di Indonesia berpedoman pada UU Kewarganegaraan No 62 tahun 1958. Undang-undang ini menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, pewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Setiap tahunnya bila keluarga perkawinan campuran itu tinggal di Indonesia, anak-anak yang dilahirkan harus terus-menerus berurusan dengan pihak imigrasi. Tiap tahunnya, mereka harus memperpanjang KITAS. Rumitnya masalah keimigrasian untuk anak yang lahir dari perkawinan campuran ini sama ruwetnya pada saat orang tua mereka harus mengurus perceraian. Penentuan hak asuh anak ada di pengadilan agama/ pengadilan negeri. Bila ibu memenangkan hak asuh, sang Ibu tak bisa langsung berlega hati. Masih ada upaya dari ayah WNA untuk naik banding kasasi ke tingkat pengadilan lebih tinggi. Sebab, secara finansial ayah WNA lebih mampu untuk menggunakan jasa pengacara, bahkan menculik sang anak. Menurut Ika Twigley, satu pendiri dan penggerak KPC Melati (Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu) di dalam artikel Republika.com, keberadaan anak cukup berarti bagi para pria WNA, karena bisa mendapatkan tax reduction (pengurangan pajak) dan social welfare (jaminan sosial). Begitu sang ayah pulang ke negerinya, maka anak pun harus ikut. Lalu, bila anak dalam asuhan ibu, dan ayah masih diwajibkan menanggung biayanya? Yang jelas, di Indonesia tidak ada lembaga penegak hukum yang bertujuan untuk mengawasi penentuan kewajiban ayah WNA di negerinya dalam memberikan biaya pemeliharaan bagi anak-anaknya yang tinggal di Indonesia.
Pada tahun 2006 lalu terbit UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Sesuai UU Kewarganegaraan 2006, anak-anak yang lahir setelah Agustus 2006, otomatis mendapatkan kewarganegaraan ganda. Setelah usia 18 dengan masa tenggang hingga tiga tahun, barulah si anak diharuskan memilh kewarganegaraan yang mana yang akan dipilihnya. Jika terjadi perceraian maka ibu dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan anak dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
Adapun kutipan Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalama pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.
Apabila ternyata terjadi perceraian dalam perkawinan campur yang berbeda kewarganegaraan, maka anak memiliki hak untuk memilih pengasuhan orangtua. Demi hukumnya maka anak yang masih di bawah umur otomatis akan mengikuti ibu dan mendapat kewarganegaraan Indonesia. Namun jika anak lahir sebelum terbitnya UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka anak tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia. Ada baiknya pada saat mengambil keputusan bercerai, pasangan yang akan bercerai membuat kesepakatan baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak. Sehingga ke depannya tidak menimbulkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya.
Referensi:
UU No. 12 tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia
www.kaltimpos.co.id
http://nostalgia.tabloidnova.com
-Akibat Nikah Siri
-Apakah anak dari perkawinan siri berhak mewaris?
-Prosedur Pengesahan Nikah Siri
-Bagaimana agar anak yang lahir dari Perkawinan Siri Bisa Memperoleh Warisan dari ayah kandungnya?
-Dampak Putusan MK bahwa anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayahnya
-Pengertian Anak Luar Kawin menurut putusan MK
-Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK
-Wasiat Lisan
-Pembuatan Wasiat oleh orang asing http://bit.ly/Jfs1gR
-Hak Ahli Waris yang masih dalam Kandungan http://bit.ly/KSaQyy
-Ayo Tolak Kekerasan Dalam Rumah Tangga! http://bit.ly/KYIRRJ
-Adopsi dan Pengangkatan Anak http://bit.ly/KnpHl6