Take a fresh look at your lifestyle.

Apakah anak dari Pernikahan Kedua Bisa Mendapatkan Warisan?

556

Salah satu sengketa waris yang sering terjadi adalah ketika seorang anak dari pernikahan kedua memperjuangkan hak warisnya di pengadilan. Kondisi tersebut dikarenakan sebagai anak dari pernikahan kedua, membuat ia dianggap tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan oleh saudara-saudaranya. 

Namun apakah benar bila anak pernikahan kedua tidak bisa memiliki hak waris?

Untuk itu, dalam artikel ini kita akan membahasnya berdasarkan hukum Islam dan Hukum negara, yang umum digunakan di Indonesia.

Berdasarkan Hukum Islam

Untuk mengetahui apakah anak dari pernikahan kedua bisa mendapatkan warisan atau tidak. Maka kita harus melihat hukum waris berdasarkan hukum Islam, yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di mana pada Pasal 171 disebutkan sebagai berikut.

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Di sini berarti yang bisa menjadi ahli waris adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, serta yang pada saat pewaris meninggal masih memiliki hubungan pernikahan dengannya. Untuk lebih jelasnya mengenai kelompok-kelompok yang berhak mendapatkan ahli waris ini disebutkan dalam Pasal 174 KHI.

Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah yaitu:

– Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
– Golongan perempuan terdiri dari  ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda (orang yang masih memiliki ikatan pernikahan dengan pewaris).

Apabila dari semua golongan semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, dan pasangan yang ditinggalkan.

Dari penjelasan tersebut berarti, selama anak tersebut merupakan akan kandung pewaris, maka ia berhak untuk mendapatkan warisan. Terlepas apakah anak tersebut merupakan anak dari istri pertama, kedua dan seterusnya. Ataupun dari pernikahan kedua dan seterusnya. Selama ia merupakan anak dari hasil pernikahan antara pewaris dan pasangannya, maka ia akan sah menjadi ahli waris. Hak waris ini sama dengan hak waris yang dimiliki anak-anak dari pernikahan pertama. Akan tetapi, nominal besaran yang didapatkan berdasarkan pembagian dalam hukum Islam atau merujuk pada aturan dari Kompilasi Hukum Islam.

Walaupun begitu, ada dua hal yang bisa menghalangi anak tersebut untuk mendapatkan warisannya.

  1. Apabila pewaris merupakan ayah biologis dari sang anak, namun sang anak lahir dari hubungan tanpa perkawinan. Di mana berdasarkan Pasal 186 KHI disebutkan apabila anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
  2. Anak tersebut terbukti melakukan tindak pidana kejahatan terhadap pewaris. Di mana disebutkan dalam Pasal 173 KHI, seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena
    1. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
    2. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Berdasarkan Hukum Perdata

Untuk aturan waris dari Hukum Islam sendiri sedikit berbeda dengan aturan hukum perdata di Indonesia. Bila dilihat dari sisi hukum perdata di Indonesia, maka mengenai hukum waris akan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di mana dalam Pasal 832 KUHPerdata disebutkan seperti berikut.

Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.

Di sini berarti yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah baik yang sah menurut undang-undang maupun yang berada dalam luar perkawinan. Dalam hal ini, semua anak biologis dari pewaris berhak untuk mendapatkan warisan. Baik dari istri pertama, kedua dan seterusnya. Atau dari pernikahan pertama, kedua dan seterusnya. Bahkan, anak yang terlahir dari hubungan luar pernikahan juga bisa menjadi ahli waris.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang bisa membuat anak tersebut tidak dapat menjadi ahli waris. Di mana dalam Pasal 838 KUHPerdata disebutkan sebagai berikut.

Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:

  1. dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu;
  2. dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
  3. dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya;
  4. dia yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu.

Walaupun anak dari pernikahan kedua tetap menjadi ahli waris. Namun, pembagiannya berbeda dengan anak dari pernikahan pertama. Dan mengenai perhitungan pembagian waris tersebut disebutkan dalam Pasal 857 sebagai berikut.

Pembagian dan apa yang menurut pasal-pasal tersebut di atas menjadi bagian saudara perempuan dan laki-laki, dilakukan antara mereka menurut bagian-bagian yang sama, bila mereka berasal dan perkawinan yang sama; bila mereka dilahirkan dan berbagai perkawinan, maka apa yang mereka warisi harus dibagi menjadi dua bagian yang sama, antara garis bapak dengan garis ibu dan orang dan orang yang meninggal itu; saudara-saudara sebapak seibu memperoleh bagian mereka dan kedua garis, dan yang sebapak saja atau yang seibu saja hanya dan garis di mana mereka termasuk. Bila hanya ada saudara tiri laki-laki atau perempuan dan salah satu garis saja, mereka mendapat seluruh harta peninggalan, dengan mengesampingkan semua keluarga sedarah lainnya dan garis yang lain.

Di sini berarti sebelum anak dari pernikahan kedua mendapatkan warisan. Harta dari pewaris harus dipastikan telah dibagi dua, yaitu bagian pewaris dengan pasangan sebelumnya. Di mana anak dari pernikahan kedua ini, tidak bisa mendapatkan bagian harta bersama dari pernikahan pewaris dengan pasangan sebelumnya. Nantinya, jatah yang didapatkan oleh anak dari pernikahan kedua ini, hanya bagian dari milik pewaris sebagai orangtuanya. Bukan harta campuran pewaris dengan pasangan sebelumnya.

Jadi, sudah jelas. Baik dalam hukum Islam maupun hukum perdata, anak dari pernikahan kedua tetap menjadi ahli waris. Meskipun bagiannya berbeda dengan anak dari pernikahan pertama. Karena bagaimanapun, anak dari pernikahan kedua tetaplah seorang anak yang berhak untuk mendapatkan peninggalan dari orangtuanya.

Sumber:

1. Kompilasi Hukum Islam
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Leave A Reply

Your email address will not be published.