Take a fresh look at your lifestyle.

Akibat Putusan MK Terhadap Hak Istimewa Notaris

5,085

 Alkisah, di sebuah kantor Notaris terdapat seorang Notaris, sebut saja bernama Bapak Amir, SH (tentunya bukan nama sebenarnya) sedang menerima klien misalnya bernama Budi yang hendak menjual rumahnya kepada Cindy. Setelah berkonsultasi dan mendapatkan nasihat dari Bapak Notaris Amir, SH, mereka kemudian meninggalkan kantor Notaris tersebut. Satu bulan berlalu, Bapak Amir, SH sudah melupakan kejadian konsultasi tersebut, dan menganggap bahwa Budi dan Cindy tersebut tidak jadi membuat akta jual beli dengan menggunakan jasa kantornya karena sudah lama tidak ada beritanya. Alangkah terkejutnya Bapak Amir, SH, ketika tiba-tiba Bapak Amir, SH mendapat surat panggilan dari kepolisian, karena atas laporan dari Budi yang tidak jadi membuat akta jual beli di hadapannya. Bapak Amir, SH tentunya merasa heran, karena selama ini dia belum sempat membuat akta apa-apa untuk peristiwa jual beli antara Budi dan Cindy. Usut punya usut, nasihat hukum yang disampaikannya pada waktu konsultasi tersebut dijadikan dasar gugatan, dan diperlakukan seolah-olah Bapak Amir, SH seperti layaknya seorang dokter yang keliru memberikan “resep”.

Pak Amir, SH kemudian meminta kepada pihak kepolisian, sebelum memeriksanya harus  mendapatkan ijin terlebih dahulu kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris sesuai dengan pasal 66 ayat 1 UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Ketika pak Amir, SH menelpon ke polisi yang melakukan pemanggilan, pihak polisi tersebut menjawab: “Maaf pak,.. sejak tanggal 28 Mei 2013 yang lalu, kami sudah tidak perlu lagi mendapatkan ijin dari MPD sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013.”

Pak Amir, SH tentu saja menjadi kaget. Karena pak Amir belum mengetahui adanya putusan MK tersebut, walaupun hal tersebut sudah ramai dibicarakan di media social.

Tidak hanya pak Amir SH saja yang terkejut, namun kalangan Notaris sempat terkejut dan menyayangkan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 tanggal 28 Mei 2013 yang mencabut pasal 66 ayat 1, khususnya pada frasa tentang kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari MPD. Hal ini akhirnya juga berkaitan dengan tidak berlakunya lagi ketentuan dalam ps.14 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT.0310.TH 2007 yang mengatur tentang hal yang sama.

Hasil putusan ini dianggap sangat merugikan hak para Notaris dan semakin membebani tugas para Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam pembuatan akta-akta otentik. Dengan adanya putusan tersebut, maka banyak timbul kegelisahan dari para praktisi Notaris, karena dengan demikian Hak Istimewa untuk diperlakukan dan dilindungi dalam melaksanakan tugas dan jabatannya atas nama Negara menjadi hilang.

Mengapa dan bagaimana? Yuk kita lihat dulu asal mulanya Putusan MK ini dibuat.

Bagaimana Putusan MK ini muncul?

Berawal dari permohonan Kant Kamal lewat kuasa hukumnya Tomson Situmeang dkk, yang merasa dirugikan hak konstitusinya terkait laporan pemalsuan akta otentik berupa Surat Jual Beli Saham-saham oleh Notaris di Cianjur, Seperti yang diulas di tribunnews,com,  Kant mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengujimaterikan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah’ dalam Pasal 66 ayat 1 UU No 31/2004 tentang jabatan notaris. Kant sebelumnya pernah membuat laporan ke polisi tentang dugaan tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Namun dalam proses pembuatan laporan yang berlanjut ke proses pemeriksaan, setelah penyidik melakukan pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan bukti surat, dan pemeriksaan notaris yang membuat akta otentik tersebut kerugian baru dirasakan Tomson. Pasalnya dalam proses pemeriksaan itu penyidik sesuai dengan norma tersebut bersama dengan penuntut umum ataupun hakim berwenang memanggil notaris dengan persetujuan MPD. Ternyata permohonan Kant tidak sia-sia, Hakim Ketua Akil Mochtar mengabulkan permohonan Kant melalui pembacaan putusannya pada hari Selasa, 28 Mei 2013. Putusan MK mengabulkan permohonan seluruhnya dan menyatakan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah’ dalam pasal 66 ayat (1) UU No. 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945. Berarti sejak diterbitkannya putusan MK tersebut maka aparat bisa memanggil dan memeriksa notaris tanpa perlu lagi menunggu persetujuan MPD Notaris.

 

Bagaimana tanggapan dari kalangan Notaris?

Kalangan notaris banyak yang menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 49/PUU-X/2013 tertanggal 28 Mei 2013 yang menghapus Hak Istimewa Notaris dalam memberikan keterangan kepada polisi.Di khawatirkan ke depannya baik masyarakat maupun aparat penegak hukum lainnya bisa dengan mudahnya “memanggil-manggil” Notaris  untuk kasus-kasus yang sebenarnya tidak material dan tidak perlu melibatkan notaries sebagai saksi, misalnya seperti pada kasus pak Amir, SH tersebut.

 “Bagaimana kita bisa tenang bekerja, kalau setiap saat kita harus siap mendapatkan tuntutan atau gugatan dari berbagai pihak yang “nggak jelas” gitu ya?” keluh seorang notaries kepada rekan sekerjanya.  

 Hmmmm…. Repot juga ya… !

 Secara khusus Bp. Jusuf Patrick, SH, Notaris yang berpraktik di Surabaya mengangkat kembali uraiannya mengenai “Apakah Notaris Tunduk Pada Equality Before The Law?” Postingan tulisan yang pernah dimuat pada tanggal 31 maret 2008 tersebut saat ini menjadi relevan mengenai perdebatan tentang kesetaraan kedudukan notaries di mata hukum.

Sedikit saya kutip:

“…….Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai “nobile person” ( orang yang terhormat ).Siapakah yang termasuk dalam golongan nobile person tersebut ?Penulis sangat yakin bahwa salah satunya adalah Notaris yang dalam pasal 1868 KUHPerdata, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004.
Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedure yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat khususnya pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan).
Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik.Namun perlu diingat bahwa seorang Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak kebal hukum….”

Begitu pula tanggapan Ketua umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) Bp. Adrian Djuani, SH di antaranews.com, pihaknya menyesalkan keputusan itu terutama karena MK juga tidak melibatkan para notaris dalam pengambilan keputusan.Pihaknya tidak ada maksud untuk menentang atau menolak keputusan MK, namun hanya menyesalkan karena tidak dilibatkan dalam proses. Padahal pihak Notaris sebagai user-nya (pengguna), bahkan tahu juga tidak. Ternyata, kasus sudah berjalan setahun lalu sejak Mei 2012 dan diputus kemarin,28 Mei 2013. Melalui putusan tersebut, tambahnya, majelis hakim MK telah menghapus isi pasal 66 UU Jabatan Notaris dimana maksud dalam materi itu mengatur kalau pemanggilan notaris oleh polisi (penyidik) harus mendapat izin dari majelis pengawas daerah (MPD).Padahal majelis ini perpanjangan tangan negara (KemenHukHam) dalam rangka pembinaan, pengawasan notaris. Itulah tugas pokoknya.Menurut Adrian, tugas MPD itu melakukan pemeriksaan terhadap seorang notaris terkait pemanggilan oleh penyidik supaya meminta keterangan notaris soal akta yang dibuatnya tersebut.Jadi, MPD memberikan rekomendasi kepada penyidik apabila seorang notaris dilakukan penyidikan, diuji dulu di MPD. Sehingga kalau dihapus akanmenjadi persoalan, karena penyidik tidak perlu lagi rekomendasi majelis.

 

Demikian pula keterangan dari Bp Firdhonal, SH selaku humas Ikatan Notaris Indonesia di antaranews.com, menyatakan keputusan majelis hakim MK yang menghapuskan pasal 66 UU Jabatan Notaris menimbulkan dilema bagi para praktisi notaris. Ia menghormati keputusan MK, tapi ia prihatin dengan dihapuskannya pasal 66 nantinya akan berdampak luas.Menurutnya, kebimbangan yang dikhawatirkan oleh para profesi notaris salah satunya sanksi terhadap sumpah jabatan notaris dan notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai sumpah jabatan, kecuali UU menentukan lain.Kalau Notaris melanggar sumpah jabatan itu dikenakan sanksi pasal 84 yakni bisa dituntut notaris tersebut oleh klien pembuat akta, dengan adanya MPD itu nanti akan diseleksi (diuji) sebelum memberikan keterangan ke penyidik.Untuk itu, pihaknya akan mengajukan keberatan agar ada pertimbangan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi meskipun memang putusan MK merupakan keputusan final dan mengikat.Tapi kita juga masih ada upaya keberatan dan kita harap dengan ada persoalan ini direvisi UUJN diperhalus bahasanya, jangan sampai notaris kebal hukum kesannya,” kata Firdhonal.

 

Hak Ingkar Notaris

Sebenarnya Notaris tidak usah terlalu resah dengan di hapuskannya kewajiban untuk meminta persetujuan dari MPD terlebih dahulu sebelum dilakukannya pemeriksaan ataupun permintaan keterangan dari Notaris. Karena notaries masih memiliki Hak Istimewa berupa “Hak Ingkar”. Adanya Hak Ingkar tersebut membuat Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta-akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN.

Dr. Habib Adjie, Notaris Senior yang juga penulis buku-buku hukum kenotariatan juga membuat pernyataan yang di share di komunitas Notaris, bahwa kewajiban ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan/ keterangan dari Notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan. Dengan demikian, Jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil atas Notaris tersebut, Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya.

 Dalam kedudukan sebagai saksi (perkara perdata) Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3)e BW). Jelas sudah bahwa Notaris mempunyai kewajiban seperti tersebut di atas, pertanyaannya, mengapa para Notaris tidak menyadari punya kewajiban seperti itu? Bahwa Notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris, tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, bahwa Notaris dipercaya oleh para pihak karena jabatannya mampu menyimpan semua keterangan/ pernyataan para pihak yang pernah diberikan dihadapan Notaris yang berkaitan dalam pembuatan akta.

Bagaimana Notaris sebaiknya menyikapi Putusan tersebut?

Jika kita menengok kembali ke belakang sebelum disahkannya UU JN yang mengatur mengenai adanya MPD dan MPW, ketentuan mengenai ijin untuk melakukan pemanggilan Notaris tersebut juga belum diatur. Sehingga, dengan adanya putusan dari MK tersebut posisi notaris kembali lagi ke kondisi sebelum di undangkannya UUJN dimaksud.

Bp. Adrian Djuani,SH di antaranews,com, juga meminta kepada para notaris di seluruh tanah air agar tetap tenang dan tetap bekerja dengan sebaik-baiknya seperti biasa; tidak perlu menjadi risau dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Putusan tentang dihapusnya  hak istimewa Notaris bukan merupakan kiamat. Sebaiknya para notaris tetap tenang, tetap bekerja seperti biasa, apabila para Notaris bekerja sesuai rambu semoga tidak ada persoalan.
Namun demikian, lanjutnya, jika dalam langkah kerja ada masalah, maka notaris masih punya hak ingkar sehingga pihaknya meminta putusan MK tersebut diambil hikmahnya supaya
Notaris ke depannya bekerja dengan semakin baik, tertib, dan jujur.  

 

Sumber referensi:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 49/PUU-X/2013

2.  Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI , pasal 14 ayat 1 No. M.03HT.0310.TH 2007

3. www.antaranews.com

4. Apakah Notaris Tunduk Pada Prinsip Equality Before The Law?  by Bp. Jusuf Patrick, SH

5. share info dari Bp. Dr. Habib Adjie, SH

Leave A Reply

Your email address will not be published.