Berkaitan dengan artikel saya sebelumnya yang membahas mengenai jaminan fidusia, ada kasus yang cukup menarik mengenai gugatan Bank Mandiri atas eksekusi lelang kopi PT Tripanca. Dalam artikel berjudul MA Tolak PK Bank Mandiri Atas Ekseskusi Lelang Kopi Tripanca di skalanews.com tanggal 12 September 2011. Disebutkan bahwa Bank Mandiri harus melepaskan salah satu aset berupa komoditas kopi milik PT. Tripanca Group (dalam keadaan pailit). Setelah permohonan upaya hukum peninjauan kembali (PK) untuk membatalkan proses lelang kopi sebanyak 26 ribu ton atau senilai Rp. 277,5 miliar ditolak majelis hakim.
Bagaimana awal mula kasus ini terjadi?
Sugiharto Wiharjo pemilik Tripanca Group terbelit persoalan kredit macet dan diduga melarikan dana nasabah BPR Tripanca. Sugiharto melalui dua perusahaan PT. Tripanca Group dan PT Cideng Makmur Pratama berhutang ke lima bank, yaitu PT. Bank Ekspor Indonesia sebesar Rp. 245 miliar, PT. Bank BRI sebesar Rp. 250 miliar, Bank Mandiri Rp. 50 miliar, Bank Mega Rp. 507.6 miliar dan Deutsche Bank Rp. 648 miliar yang ditotal mencapai hampir Rp 1,7 triliun yang terancam macet. Artikel di skalanews.com tanggal 12 September 2011 menyebutkan pihak Bank Mandiri dkk merasa berang setelah biji kopi milik PT. Tripanca Group sebanyak 26 ribu ton itu dieksekusi lelang oleh Bank Mega, Tbk. yang dibeli oleh PT. Perkebunan Indonesia Lestari senilai Rp. 277, 5 miliar pada tanggal 2 November 2009. Kopi yang disimpan di 3 tempat di Bandar Lampung yaitu gudang Dharmala, gudang Lakop dan gudang Asenda, dianggap sebagai bagian dari aset pailit atau bundel pailit. Bank Mandiri menganggap saat itu PT Tripanca sudah dinyatakan pailit (3 Agustus 2009) dan proses kepailitan sedang berjalan, sehingga seandainya pihak Bank Mega mau menjual, seharusnya setelah proses kepailitan selesai. Sementara pihak Bank Mega berpendapat lain, bahwa kopi tersebut telah dijaminkan PT. Tripanca Group kepada Bank Mega sebagai jaminan fidusia (pengalihan hak suatu benda atas dasar kepercayaan). Artinya benda jaminan fidusia tetap dikuasai debitur walaupun hak milik benda tersebut telah berpindah ke tangan kreditur.
Bagaimana kasus tersebut dilihat dari sudut pandang pihak Bank Mega?
Di dalam artikel www.radar lampung.co.id tanggal 23 April 2010 disebutkan bahwa Bank Mega memberikan fasilitas kredit warehouse receipt financing (WRF) pada PT Tripanca Group dengan total kredit USD 47 juta. Jaminan kopi itu diikat dengan perjanjian fidusia melalui akta No. 49 tanggal 24 Agustus 2007. Akta dibuat dihadapan notaris Joni, S.H. yang selanjutnya didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia yaitu Kantor Wilayah Departemen HAM RI Propinsi Lampung. Kemudian diterbitkan sertifikat jaminan fidusia No. W6.836.04.06. TH.2007 tanggal 6 November 2007 jo akta fidusia No. 38 tanggal 28 November 2007 jo sertifikat jaminan fidusia No. W6.1103.HT.04.06.TH.2007/STD tanggal 4 Desember 2007.
Bank Mega melalui suratnya tanggal 7 November No. 102/SARD/08 mengajukan permohonan eksekusi ke PN yang diterima dan didaftarkan di kepaniteraan PN tanggal 10 November 2008.
Perkara kepailitan ini diajukan oleh Tim kurator PT. Tripanca Group (dalam pailit), Bank Mandiri dan Exim Bank (dahulu PT. Bank Ekspor Indonesia (Persero) ke Mahkamah Agung dengan mengajukan Permohonan Kasasi (PK) terhadap Perkara No. 306K/Pdt.Sus/2010 melawan tergugat (PT.Perkebunan Indonesia Lestari, PT Bank Mega, Tbk dan Kantor Pelayanan Lelang dan Kekayaan Negara (KPKNL) Bandar Lampung).
Apa perkara yang digugat di dalam Perkara 306K/Pdt.Sus/2010?
Di dalam http://kepaniteraan.mahkamahagung,go.id menyebutkan perkara No.306/Pdt.Sus/2010 berkisar tentang gugatan tim kurator (penggugat) debitur pailit terkait pelelangan aset debitur yang sebelumnya telah diagunkan oleh pemegang hak fidusianya.
Pada tingkat pertama gugatan tersebut dikabulkan pengadilan dengan memerintahkan menyerahkan uang hasil pelelangan kepada tim kurator. Tergugat (PT.Perkebunan Indonesia Lestari, PT Bank Mega, tbk dan Kantor Pelayanan Lelang dan Kekayaan Negara (KPKNL) Bandar Lampung) kemudian mengajukan permohonan kasasi dengan pertanyaan utama apakah pelaksanaan lelang seperti ini tidak diperbolehkan.
Bagaimana pendapat Mahkamah Agung?
Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan No. 062 PK/Pdt .Sus/2011 memeriksa perkara Perdata Khusus Kepailitan dalam peninjauan kembali telah mengambil putusan yaitu Menolak Permohonan Peninjauan kembali dari Bank Mandiri dkk.
Mahkamah Agung berpendapat, meskipun terdapat ketentuan pasal 34 UU No. 37/2004 yang melarang adanya perjanjian yang bermaksud untuk memindahtangankan hak atas tanah, balik nama kapal, pembebanan hak tanggungan, hipotik, atau jaminan fidusia, namun harus dipertimbangkan pula ketentuan pasal 55 UU No. 37/2004 yang mengatur bahwa pemegang jaminan fidusia dapat mengeksekusi hak-haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Karenanya larangan dalam pasal 34 UU No. 37/2004 harus ditafsirkan bahwa yang tidak diperbolehkan adalah “melakukan perjanjian”, sementara bila perjanjian telah sempurna, maka berlaku pasal 55 UU No. 37/2004. Dengan demikian, pelelangan atas obyek jaminan fidusia di dalam perkara ini tidaklah bertentangan dengan hukum.
Apa pertimbangan Mahkamah Agung sehingga menolak gugatan penggugat?
1. “Bahwa persoalan dalam perkara ini adalah ada perjanjian dengan jaminan Fidusia antara PT. Tri Panca Group dengan PT. Bank Mega, kemudian PT. Tri Panca Group tersebut dinyatakan pailit. Judex Facti di dalam pertimbangannya bersandar pada Pasal 34 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang berbunyi ”kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini perjanjian yang bermaksud memindahtangankan hak atas tanah, balik nama kapal, pembebanan hak tanggungan, hipotik, atau jaminan fidusia yang telah diperjanjikan lebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah putusan pernyataan pailit diucapkan.”
2. “Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut tidak mempertimbangkan ketentuan lain di dalam undang-undang yaitu:
- Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan yang menentukan: “…setiap kreditur pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan;
- Penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 (Undang-Undang Jaminan Fidusia) menyatakan “Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia berada di luar kepailitan dan atau likuidasi” Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 “dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, 57 dan pasal 58 Ketentuan ini (pasal 31 ayat 1) tidak berlaku bagi kreditur sebagaimana dimaksud dalam pasal 55. ”
3. “Bahwa dengan pertimbangan di atas, maka seolah-olah ada pertentangan antara Pasal 34 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan Pasal 55, Penjelasan Pasal 31 ayat (1) serta Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, sehingga menurut Mahkamah Agung ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 haruslah diartikan bahwa yang tidak boleh dilaksanakan setelah adanya putusan pernyataan pailit adalah melakukan perjanjian yang bermaksud:
1) Memindahtangankan hak atas tanah
2) Balik nama kapal
3) Pembebanan hak tanggungan
4) Hipotik
5) Jaminan fidusia yang telah diperjanjikan lebih dahulu.
Artinya perjanjian yang ada tersebut tidak boleh diwujudkan/dilaksanakan lebih lanjut, misalnya dengan menerbitkan sertifikat. Tetapi apabila perjanjian-perjanjian tersebut telah sempurna dengan adanya sertifikat, maka yang harus berlaku adalah Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, yaitu obyek jaminan tidak masuk dalam harta/budel pailit.”
Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 26 Juli 2011, maka PT Bank Mandiri, Tbk harus rela melepaskan salah satu aset berupa komoditas kopi milik PT Tripanca Group (dalam pailit), Lampung. Terlepas adanya pro dan kontra di dalam perkara ini, Putusan Mahkamah Agung ini merupakan tonggak sejarah di dalam perkembangan hukum jaminan di Indonesia.
********