Setelah pada artikel sebelumnya kita amembahas mengenai kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia, maka pertanyaan selanjutnya adalah:
Apa akibatnya jika kontrak yang melibatkan pihak instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan WNI dibuat dalam bahasa selain bahasa Indonesia?
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bahasa, Bendera dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (“UU No. 24/2009”), ditegaskan dalam Pasal 31 nya dimana:
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris
Dalam penjelasannya dipertegas pula dengan ketentuan bahwa :
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh
pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa
Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
Ayat (2) Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.
Namun demikian, walau dalam UU No.24/2009 tersebut, tidak secara tegas menyebutkan mengenai adanya sanksi atau akibat jika tidak digunakannya bahasa Indonesia dalam sebuah kontrak kontrak yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, dapat mengakibatkan kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sebagai contoh kasus antara Nine AM Ltd dengan PT Bangun Karya Pratama (BKP) akhirnya bermuara ke tingkat kasasi. Dimana Mahkamah Agung menolak kasasi dan bahkan mengukuhkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014, yang isinya juga menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) No. 451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT tanggal 20 Juni 2013 silam. Gugatan yang dimenangkan oleh BKP ini terkait dengan penanda-tanganan Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Perjanjian tersebut mengatur BKP memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah AS$4,422 juta. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Berkaca dari kasus tersebut, maka untuk bank-bank asing yang biasanya hanya menggunakan Loan Agreement atau Credit Agreement dalam bahasa asing harus mulai mencermati kondisi tersebut, dan melakukan perubahan besar-besarnya dengan membuat perjanjian dalam bahasa Indonesia, atau setidaknya membuatnya menjadi bilingual, alias dua bahasa untuk menghindari resiko dibatalkannya Perjanjian Kredit karena mengacu pada UU No.24/2009 tersebut. Hal ini tentunya berakibat pada kerugian materiil yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh pihak kreditur.
Bagaimana bila ternyata ada akta atau perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, apakah dapat dikategorikan telah melanggar Pasal 43 UUJN-P (untuk akta Notaris) atau Pasal Pasal 31 UU RI Nomor 24 Tahun 2009 (untuk Perjanjian pada umumnya) ?
Secara normatif jika hal tersebut dilanggar tidak ada sanksi apapun. Meskipun tidak ditegaskan ada sanksinya, apakah bisa ditinjau dari sahnya perjanjian sebagai sebab yang terlarang ?
Dalam Pasal 1 angka 7, 8, 9, 10 UUJN – P ada istilah :
(7) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
(8) Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
(9) Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.
(10) Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UUJN – P bahwa Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia, dan hal ini sesuai pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009.
Sudah tentu yang menghadap Notaris untuk membuat akta tidak selalu bisa bahasa Indonesia, bahkan mungkin hanya bisa bahasa daerah yang ada di Indonesia, hal ini dapat dikategorikan tidak bisa berbahasa Indonesia juga. Secara normatif Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta merupakan bagian aspek formal akta Notaris, karena akta Notaris harus dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Sehingga Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia merupakan pelanggaran aspek formal, dan pelanggaran terhadap aspek formal akta Notaris ada sanksinya sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUJN – P.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta dapat pula ditinjau berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya mengenai Syarat Objektif suatu Perjanjian yaitu tentang Suatu Sebab Yang Terlarang Menurut Hukum. Sudah menjadi kaidah umum dalam Hukum Perjanjian bahwa Perjanjian yang melanggar salah satu syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Dengan demikian apakah bisa dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang terlarang ?
Pasal 1337 KUHPerdata menegaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Jika menggunakan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata tersebut sudah tentu Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang terlarang. Jika undang-undang mewajibkan setiap kontrak atau perjanjian (termasuk Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta) menggunakan bahasa Indonesia, harus diikuti. Dengan ancama Batal Demi Hukum jika dilanggar.
Berdasarkan uraian di atas, apakah boleh Minuta Akta dibuat selain dalam bahasa Indonesia ?
Dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, maka untuk Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib menggunakan bahasa Indonesia, sehingga tidak boleh ada Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.
*****
(Bersambung: “Dapatkah Notaris Memberikan Salinan Akta Dalam Bahasa Selain Bahasa Indonesia?”
Artikel Sebelumnya: “Kewajban Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Kontrak Asing Yang Dilaksanakan di Indonesia”
Artikel setelahnya: “Dapatkah Notaris memberikan salinan Akta Selain Dalam Bahasa Indonesia?“