Take a fresh look at your lifestyle.

Pengertian Anak Luar Kawin Dalam Putusan MK

8,259

(MENGKAJI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 46/PUU-VIII/2010)

Bagi praktisi yang banyak berkecimpung dalam ranah hukum perdata, Putusan MK mengenai status hukum anak luar kawin masih merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Kali ini, saya akan mengangkat kembali topic tersebut, sebagai bagian dari hasil Diskusi Hukum dengan topic: “Implementasi Ketentuan Anak Luar Kawin dalam UU Perkawinan Pasca Putusan MK” yang diselenggarakan oleh Hukumonline pada tanggal 29 Maret 2012 lalu, dimana saya menjadi salah satu pembicaranya,  bersama dengan bapak Djafar, SH, MH (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta) dan Bapak Dr. H.M. Akil Mochtar  S.H.,M.H. (salah seorang hakim MK yang memutus perkara tentang pengakuan anak artis Machica Mochtar dari pernikahan sirrinya dengan Moerdiono (Putusan MK tersebut juga sudah dibahas sebagai artikel di blog ini).

Banyak comments pro-kontra yang masuk di blog saya setelah saya menulis artikel mengenai putusan MK tersebut. Memang, dengan adanya putusan MK tersebut maka perubahan besar dalam sistem hukum perdata pun akhirnya tak bisa dihindari. Misalnya dalam hukum waris. Berdasarkan KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak luar kawin yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya Putusan MK tersebut maka anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. Kedudukan anak luar kawin terhadap warisan ayah biologisnya juga semakin kuat. Pasca putusan MK ini, anak luar kawin merasa berhak atas warisan ayahnya. Di ke depannya tentu akan timbul banyak gugatan ke pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam) dari anak luar kawin.

Dalam diskusi tersebut, menanggapi Putusan MK terhadap pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan,  Dr. H.M. Akil Mochtar  berpendapat pasal 43 ayat (1) UU perkawinan mengatur tentang anak luar kawin. UU Perkawinan tidak menyangkal ketentuan-ketentuan hukum agama sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3, sehingga bagi yang beragama Islam, implementasinya tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syar’i.   Apabila pasal 43 UU Perkawinan dihubungkan pasal 42 UU tersebut,  maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin bukan merupakan anak yang sah.  Disamping itu, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.  Konsep ini sejalan dengan konsep Hukum Islam dan hukum adat pada umumnya.  Agama Islam menganut prinsip  bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah sehingga tidak ada alasan untuk membeda-bedakan setiap anak yang lahir, termasuk anak luar kawin sekalipun.

Putusan MK tersebut, UU No.8/2011 tentang Perubahan Atas UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10  ayat (1) huruf a menegaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.  Sekalipun pasal 1917 BW jo. Pasal 21 AB menegaskan bahwa putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan tidak mengikat hakim lain yang akan memutus perkara yang serupa,  namun ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan Mahkamah Konstitusi sebab substansi putusan MK tersebut bersifat umum yakni berupa pengujian suatu UU terhadap UUD,  karena itu putusan MK tentang anak luar kawin (Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010) tersebut pada dasarnya mengikat semua warga negara.

Namun karena Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing  dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka putusan MK  dimaksud  harus dibaca spiritnya sebagai “Payung Hukum Untuk  Perlindungan Terhadap Anak Dan Tidak Menyangkal Lembaga Perkawinan Yang Sah” sebagaimana diatur dalam UU N0. 1 Tahun 1974 jo. PP 9/1975 jo. INPRES No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.  Karena itu perlindungan terhadap anak diluar perkawinan harus dilaksanakan secara proporsional yakni dikembalikan kepada peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adat istiadat setempat dengan tidak menafikan hukum agama yang bersangkutan.

Menurut Akil, putusan MK tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan diluar nikah dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2  UU  No. 1 Tahun l974. Adapun yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain misalnya dengan konsep  wasiyat wajibah. Demikian pula yang berkaitan dengan nafkah/ biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang/ harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa. Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya.   Inilah yang memicu timbulnya protes terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 sebab putusan tersebut mengesankan adanya pertalian nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya.  Andaikata dalam putusan tersebut ada penegasan bahwa nasab anak dikembalikan pada hukum agamanya, niscaya tidak menimbulkan kontroversi.

Anak luar kawin manakah yang dimaksudkan dalam putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut?

Menurut Akil Mochtar, dalam pengujian pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, MK berpendapat (1) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai; dan (2) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, MK berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah.

Namun, terdapat permasalahan sebagai akibat dari tidak dicatatnya perkawinan dalam catatan administratif negara. Salah satu akibatnya adalah terhadap hubungan hukum antara si Bapak dan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatat. Anak tersebut tidak serta merta bisa mencantumkan nama lelaki sebagai Bapaknya dalam akta kelahirannya. Dengan kata lain, dalam praktek anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak luar nikah.

Berkaitan dengan kondisi diatas, MK dalam melakukan penafsiran atas Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan berpendapat bahwa “Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.”

Pendapat ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of Child) yang mengatur bahwa “anak akan didaftar segera setelah lahir dan akan mempunyai hak sejak lahir atas nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya”.  Kemudian, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Hak anak untuk mengetahui identitas kedua orang tuanya akan memperjelas status serta hubungan antara anak dengan orang tuanya.

(BERSAMBUNG:  Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK)

 

Sumber:

Makalah M. Akil Mochtar  pada Diskusi Hukum Online – Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

www.hukumonline.com

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.