Take a fresh look at your lifestyle.

Badan Hukum Pendidikan (BHP) Sebagai Wadah Dalam Usaha Di bidang Pendidikan Formal

8,823

Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tanggal 16 Januari 2009 yang lalu, masyarakat yang hendak menyelenggarakan usaha di bidang pendidikan selalu memilih bentuk Yayasan ataupun Perkumpulan yang berbadan hukum sebagai naungan dari lembaga pendidikan dimaksud.

Pada tahun 2001, yaitu pada saat diundangkannya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (untuk selanjutnya lebih mudah jika kita menyebutnya UU Yayasan), mulai terdapat kebimbangan di antara para pengurus Yayasan yang menyelenggarakan bidang-bidang sosial yang bersifat komersial; contohnya bidang Pendidikan ataupun Rumah Sakit. Karena dalam UU Yayasan tersebut terdapat larangan pembagian laba atau keuntungan kepada pendiri atau Pembina yayasan dan pengurusnya atau afiliasinya.

Larangan untuk menjadi profit center ini khususnya dalam bidang pendidikan juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang lebih dikenal dengan UU Sisdiknas. UU Sisdiknas ini juga menekankan mengenai prinsip nirlaba pada badan usaha (baik pemerintah maupun swasta) yang hendak menyelenggarkan pendidikan.
Melalui Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, pemerintah sudah membuat suatu bentuk baru khusus untuk institusi yang menyelenggarakan pendidikan formal, menjadi satu bentuk/wadah yaitu Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Jadi sejak tanggal 16 Januari 2009 yang lalu sesuai pasal 10 UU No. 9/2009 tersebut, masyarakat ataupun pemerintah baik pusat maupun daerah yang akan mendirikan satuan pendidikan formal, tidak boleh lagi membentuk Yayasan, Perkumpulan, PT, atau CV sebagai wadahnya, melainkan harus berbentuk BHP.
Apa itu BHP?
BHP adalah Badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Atau dengan kata lain, kalau ada yang hendak membuat usaha yang menyelenggarakan sekolah-sekolah formal yang berjenjang, baik itu TK, SD, SMP, SMU/SMK/, madrasah, sekolah tinggi maupun Universitas, sejak tanggal 16 Januari 2009 tidak boleh lagi dinaungi oleh Yayasan, perkumpulan ataupun badan hukum lainnya, melainkan BHP.

Apa saja yang dapat digolongkan sebagai BHP? Berdasarkan Jenisnya, maka BHP terdiri atas:
1. BHP Penyelenggara,
yaitu BHP yang menyelenggarakan lebih dari 1 satuan pendidikan Formal, yang terdiri dari yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan. Jadi, untuk sekolah-sekolah dasar, menengah dan tinggi yang sebelumnya berbentuk Yayasan, perkumpulan, ataupun PT ataupun BHMN, dianggap sebagai BHP penyelenggara apabila menyelenggarakan lebih dari satu satuan pendidikan. Jika BHP Penyelenggara ini memiliki beberapa satuan pendidikan, tiap satuan pendidikan tersebut dimungkinkan untuk dirubah statusnya menjadi BHP Masyarakat

2. BHP Satuan Pendidikan
Yaitu BHP yang hanya menyelenggarakan satu satuan pendidikan saja. BHP bentuk ini terdiri atas:
a. BHP Pemerintah (BHPP), yaitu BHP yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah dengan usulan dari Menteri
b. BHP Daerah (BHPD), yaitu BHP yang didirikan berdasarkan Peraturan Gubernur atau peraturan walikota.
c. BHP Masyarakat (BHPM), yaitu BHP yang didirikan oleh masyarakat, dengan menggunakan akta Notaris dan mendapat pengesahan dari Menteri.
Hal yang menarik disini adalah mengenai pengelolaan dana BHP. Pengelolaan dana BHP harus dilakukan secara mandiri oleh BHP yang bersangkutan, dengan didasarkan pada prinsip nirlaba (pasal 4 ayat 1 juncto pasal 38 ayat 3), yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP tersebut untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

Demikian pula ada larangan yang diatur dalam Pasal 39, yang menyatakan bahwa Kekayaan BHP berupa uang, barang atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang, DILARANG untuk dialihkan kepemilikannya secara langsung atau tidak langsung kepada siapapun, kecuali untuk memenuhi kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi pelaksanaan:
a. Kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran
b. Pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
dalam hal BHP memiliki satuan pendidikan tinggi
c. Peningkatan pelayanan pendidikan
d. Penggunaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Sanksi bila prinsip nirlaba dan pengalihan kekayaan BHP tersebut dilanggar (sesuai pasal 63) adalah: PIDANA PENJARA paling lama 5 tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000,– (lima ratus juta rupiah).

Klausula ini tentu saja akan menjadi suatu klausula yang memiliki dua efek yang ekstrim, yaitu: meningkatnya kwalitas pendidikan di Indonesia, karena segala upaya yang dihasilkan oleh BHP akan difokuskan hanya untuk peningkatan satuan pendidikannya. Di satu sisi ada efek yang sebaliknya, yaitu: pengusaha yang hendak menanamkan modalnya ke dalam bisnis pendidikan akan berpikir seribu kali dengan adanya aturan tersebut. Tidak bisa dipungkiri, setiap pengusaha yang hendak berbisnis, pasti yang dituju adalah keuntungan. Jika memang sudah ditetapkan bersifat nirlaba, maka bisnis pendidikan sudah bukan merupakan hal yang menarik untuk di olah .

Bagaimana menurut Pembaca?

(Bersambung : “Anggaran Dasar BHP”)

7 Comments
  1. davidyes says

    Kalau tempat kursus apakah juga menggunakan BHP ini?

  2. r4hday says

    terima kasih atas sarannya

  3. diah says

    assalamualaikum wr wb,
    Ibu devi ada hal yang ingin saya tanyakan.
    Pesantren saudara saya di jawa timur telah ditolak pengurusan penyesuaian AD-nya karena mengunakan nama Allah sebagai nama Pesantren. akibatnya pengurusan menjadi tertunda sampai sekarang sudah 3 bulanan. Belakangan katanya pesantren yang belum melakukan penyesuaian dengan UU Yayasan Baru harus menjadi BHP, mohon penjelasannya untung ruginya pesantren kami berubah menjadi BHP. terima kasih atas penjelasannya.

  4. usman says

    Bagaimana mengenai sekolah tinggi ataupun politeknik yang berada dibawah departemen, mereka sudah berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) agar tidak bergabung dengan Diknas. Apakah ini diperbolehkan dan apakah lulusannya sah?

  5. retno ismoyowati says

    terus bu irma yang saya tanyakan kalau yayasan yang lama yang sudah berbadan hukum apakah masih berlaku dan diakui atau harus diubah dengan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang baru

  6. […] Setelah berlakunya UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tanggal 16 Januari 2009 lalu, maka bentuk Yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain tidak boleh menjadi wadah usaha dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal dan berjenjang. Minggu lalu ada edaran dari pengurus Ikatan Notaris Indonesia yang menegaskan larangan tersebut kepada para notaries di Indonesia, untuk tidak membuat akta PT, Yayasan, perkumpulan ataupun CV yang usahanya bergerak di bidang pendidikan formal dan berjenjang. Hal ini akan berlaku sampai adanya peraturan pelaksanaan mengenai prosedur pembentukan BHP. […]

  7. […] Pendirian suatu Yayasan berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 mengenai Yayasan, yang diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004, diatur dalam pasal 9 UU No. 16/2001, yaitu: […]

Leave A Reply

Your email address will not be published.