Dewasa ini, beberapa Bank Syariah mulai membuat terobosan dengan menerbitkan Kartu Kredit Syariah. Kartu Kredit tersebut secara umum bentuknya dan penggunaannya hampir sama dengan kartu kredit biasa. Namun sebenarnya ada beberapa hal yang membedakan antara Kartu Kredit biasa dengan Kartu Kredit Syariah.
Dalam pembukaan kartu kredit Bank Syariah, biasanya nasabah juga di syaratkan untuk membuka tabungan yang dananya minimal 10% dari limit kartu kredit yang di terima oleh nasabah dimaksud. Dana dari tabungan yang dibuka tersebut, akan diblokir dan digunakan sebagai jaminan pelunasan tagihan dari kartu kredit yang diterima nasabah. Mengapa demikian? Karena hal tersebut ditujukan untuk mengurangi Risiko dari Bank Syariah yang bersangkutan agar tidak “dibobol” oleh nasabah yang tidak bertanggung jawab. Di satu sisi, ketentuan tersebut baik untuk mengontrol pengeluaran dari nasabah yang bersangkutan, agar tidak melakukan transaksi yang berlebihan (israf).
Kemudian, dana yang diblokir oleh bank syariah dimaksud bukan merupakan dana yang idle, karena Bank Syariah akan membuat akad perjanjian dengan system mnudharabah sebagaimana halnya tabungan biasa, dengan akad/perjanjian mudaharabah mutlaqah (lihat pembahasan di depan mengenai system dan cara pembagian mudharabah mutlaqah). Bank akan nmengelola dana tersebut, dan memberikan bagi hasil kepada nasabah dengan nisbah tertentu yang dihitung dari saldo harian nasabah setelah dikurangi dengan pajak-pajak. Jika suatu saat nasabah berkeinginan untuk menutup kartu kreditnya, maka apabila tidak ada tunggakan kewajiban yang harus ditanggung oleh nasabah yang bersangkutan, maka nasabah tersebut juga bisa menutup tabungan yang dananya di blokir tersebut dan mengambil seluruh sisa dana yang tersimpan.
Hal ini juga membedakan karakteristik antara kartu kredit konvensional dengan kartu kredit syariah.
PERBEDAAN ANTARA KARTU KREDIT SYARIAH DENGAN KONVENSIONAL
1. Kartu kredit syariah tidak dapat digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah
2. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf).
3. Pemegang kartu kredit syariah harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada waktunya.
AKAD YANG DIGUNAKAN:
Bank Syariah yang menerbitkan Kartu Kredit Syariah menggunakan beberapa skema akad dalam transaksi kartu kredit tersebut. Akad-akad tersebut adalah:
1. Akad Kafalah
Dalam akad kafalah ini, Bank Syariah sebagai penerbit kartu kredit akan bertindak selaku penjamin bagi nasabahnya, terhadap merchant yang melakukan transaksi dengan nasabah tersebut. Bank Syariah akan menjamin semua kewajiban pembayaran dari nasabahnya yang membeli barang atau menerima jasa dari merchant dimaksud. Karena Bank Syariah telah bertindak selaku penjamin, maka Bank Syariah berhak menagih iuran bulanan (membership fee). Maksudnya begini:
Tenriagi merupakan nasabah kartu kredit pada Bank Syariah. Suatu hari Tenriagi membeli tas merk Gucci pada sebuah Boutique di Orchard – Singapore dengan menggunakan kartu kredit tersebut. Pada saat itu, Tenriagi tidak membayar harga tas dengan tunai, melainkan dengan kartu kredit atau dengan cara hutang. Jadi seolah-olah Tenriagi berhutang kepada Boutique tersebut. Boutique tersebut bisa mempercayai Tenriagi, karena adanya jaminan dari Bank Syariah penerbit kartu kredit. Sehingga Bank Syariah tersebut bertindak selaku Kafil (penjamin) dan Tenriagi selaku Makful (pihak yang dijamin).
2. Akad Qardh
Bank Syariah selaku pemberi pinjaman kepada nasabahnya atas seluruh transaksi penarikan tunai yang menggunakan kartu kredit yang diterbitkan oleh Bank Syariah dimaksud. Jadi maksudnya begini:
Dalam suatu transaksi kartu kredit, terkadang Nasabah diberikan fasilitas untuk menarik dana secara tunai dengan menggunakan kartu kredit tersebut; walaupun nasabah tidak memiliki simpanan dalama bentuk uang tunai dalam rekening kartu kredit dimaksud. Namun, Bank Syariah memberikan dana talangan kepada nasabah, yang nantinya harus dikembalikan lagi oleh nasabah tersebut. Atas pelayanan qardh, maka bank berhak mengenakan biaya administrasi yang besarnya tidak boleh di dasarkan atas jumlah pinjaman, tetapi biaya riil yang dikeluarkan bank.
3. Akad Ijarah
Bank Syariah selaku penyedia jasa system pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang Kartu Kredit. Atas Ijarah tersebut, nasabah dari Bank Syariah yang bersangkutan dikenakan iuran tahunan (annual membership fee).
Disamping ketiga akad tersebut, dalam transaksi kartu kredit, dapat pula digunakan akad-akad lainnya, yaitu:
1. Akad Wakalah
Atau pemberian kuasa. Jadi begini: pada saat terjadi akad antara pemegang kartu dan penerbit kartu (Bank), nasabah pemegang kartu sudah memberikan memberikan kuasa (mewakilkan) kepada Bank untuk melunasi hutang yang timbul sebagai akibat dari pengeluaran Nasabah dengan menggunakan kartu kredit kredit tersebut.
2. Akad Hiwalah (pengalihan pembayaran hutang)
Seperti halnya pada konsep Hiwalah (Hawalah), Nasabah pada dasarnya memiliki hutang kepada merchant (dengan membeli suatu barang atau jasa tertentu misalnya), dan kemudian merchant tersebut menagih kepada Bank. Dalam ini, antara merchant dengan Bank tidak ada hubungan khusus. Namun, karena adanya wakalah yang ditindak lanjuti dengan Hawalah, maka Bank berkewajiban untuk membayarkan tagihan hutang dari Merchant tersebut atas nama Nasabah.
3. Bay’bi Ajal
Bay’bi ajal biasanya terjadi antara 2 pihak, dimana hubungannya langsung antara nasabah selaku pemegang kartu kredit dengan merchant. Nasabah membeli produk secara cicilan kepada merchant, pembayarannya dilakukan secara mencicil (taqsith).
Sebagai catatan pribadi saya, walaupun sudah ada Bank Syariah yang menerbitkan Kartu Kredit Syariah, namun dalam prakteknya beberapa Bank Syariah lainnya masih bersikap skeptic mengenai konsep akad yang digunakan pada transaksi kartu kredit dimaksud. Salah satu legal corporate Bank Syariah yang saya mintai pendapat menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena dalam syariah sendiri tidak ada istilah “kredit” melainkan “pembiayaan”. Karena Bank Syariah bertindak bukan sebagai “kreditur” melainkan mitra dari “Nasabah”.
*******