Di kota-kota besar seperti di Jakarta misalnya, sudah sulit untuk mencari tempat tinggal yang nyaman dan lokasinya dekat dengan tempat kerja. Kalaupun ada harganya pasti sudah sangat mahal. Tak heran banyak orang yang membeli rumah yang lokasinya di pinggiran kota karena di Jakarta sudah tidak memungkinkan untuk memiliki rumah dengan harga terjangkau. Bagi kalangan atas tentunya tidak masalah untuk memiliki apartemen yang harganya selangit, tapi tidak demikian dengan dengan kalangan menengah dan bawah.
Untuk memfasilitasi hal tersebut, sejak tanggal 5 April 2007 pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan pembangunan rumah susun sederhana hak milik -RUSUNAMI, yang sekarang disebut: “Rumah Sejahtera Susun”. Artikel yang diulas oleh okezone.com pada tanggal 29 Desember 2010 yang berjudul “Pembangunan Rusunami 1000 Di Percepat” Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) berencana mempercepat program pembangunan 1.000 menara rumah susun sederhana pada tahun 2011 untuk mengejar target penyelesaian program tersebut pada 2014.
Percepatan dilakukan melalui peraturan tata ruang dan zonasi untuk pembangunan rusun. Selain itu, Kementrian Perumahan Rakyat bersama Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan menyelesaikan peraturan pemerintah (PP) terkait perizinan pembangunan hunian. Dengan peraturan itu akan ada ketetapan satu standar khusus untuk masalah perizinan dan pembangunan rusun di seluruh daerah. Pemerintah juga akan merevisi PP Nomor 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Di dalam artikel berjudul “Pengembang Wajib Sediakan 20% Pembangunan Rusun Bagi Kalangan Bawah” yang ditulis oleh Dwi Nur Oktaviani tanggal 18 Oktober 2011 di kontan.co.id menyoroti tentang amanat UU tentang Rusun yang disahkan oleh DPR pada tanggal . UU Rumah Susun yang baru tersebut ditetapkan bahwa pengembang wajib menyediakan 20% pembangunan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Bagaimana dalam praktiknya sejak dicanangkan tahun 2007?
Sejak pencanangan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007, program pembangunan 1.000 menara rusun banyak menemui kendala. Dari 1.000 menara yang ditargetkan hingga kini pemerintah baru menyelesaikan 250 menara pada 2010. Sejumlah rusun yang dibangun di Jakarta, misalnya, sempat disegel oleh pemerintah daerah (pemda) lantaran dianggap tidak memenuhi standar. Kita bisa lihat kasus penyegelan proyek pembangunan rusunami di Kalibata, Jakarta selatan akibat tidak adanya Izin Mendirikan Bangunan; rusunami Cibubur yang penghuninya mengeluhkan tingginya biaya bulanan yang ditetapkan oleh pengelolanya
Mengapa pengembang komersial lebih memilih membangun apartemen dibandingkan rusun?
Bagi pengembang komersial membangun rusun kurang menguntungkan. Adapun kendala yang yang sering dialami pengembang menurut artikel tanggal 22 November 2010 di pajakonline.com ; sebagai berikut:
1) Kepastian hukum
Pengembang mendesak pemerintah memberikan kepastian mengenai kelanjutan program pembangunan 1.000 unit menara rumah sejahtera susun (dulu rumah susun sederhana milik/rusunami). Kepastian hukum dibutuhkan karena saat ini pembangunan puluhan menara rusun tersendat. Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Setyo Maharso mengatakan kelanjutan program pembangunan 1.000 menara tidak jelas kepastian hukumnya karena insentif yang dijanjikan pemerintah ternyata tidak ada.
2) Lambannya pencairan dan perubahan pola subsidi membuat pengembang ragu-ragu memasarkan proyek mereka.
Hingga penghujung 2009, pengembang baru mampu membangun sedikitnya 30.000 unit rumah sejahtera susun. Dari jumlah itu, baru 3.000 unit yang sudah selesai sebab subsidi pembiayaannya sempat tersendat akibat pengalihan subsidi pembiayaan dari subsidi selisih bunga menjadi bantuan likuiditas.Maharso menyebutkan banyak pengembang mengalihkan proyek rumah sejahtera susun menjadi rumah menengah bawah dengan harga sekitar 180 juta rupiah per unit atau nonsubsidi guna tetap dapat menjual unit yang sudah terbangun.
3) Aturan perizinan
Sejumlah daerah bahkan menerapkan aturan perizinan yang memberatkan, termasuk pemangkasan tingkat koefisien lantai bangunan. Padahal pengembang mengharapkan tingkat koefisien lantai bangunan dapat menutupi biaya produksi karena membangun hunian dengan harga murah di tengah kota. Beberapa hal pokok yang perlu dibenahi terkait pembangunan rusun di Jakarta antara lain soal koefisien lantai bangunan (KLB) yang diturunkan. Di Jakarta, kasus penyegelan proyek rusun yang pernah terjadi membuat pengembang trauma membangun hunian vertikal bagi masyarakat perkotaan tersebut. Kebijakan lain yang membingungkan pengembang di Jakarta menyangkut izin batas ketinggian maksimal bangunan bertingkat pada radius tertentu dari bandar udara atau kawasan keselamatan operasional penerbangan (KKOP). Ada pengembang yang sudah mengantongi izin pembangunan, termasuk soal ketinggian bangunan dari Pemprov DKI, namun kemudian hari justru dipersoalkan dan diminta tinggi bangunan dipotong. Ironisnya, yang mempersoalkan ketinggian itu justru Pemprov DKI sendiri. Kondisi serupa dialami pengembang rusunami pada 2007.
4) Sistim perpajakan yang berlapis-lapis
Pengembang dikenakan banyak jenis perpajakan dari mulai PPh, PPN, pajak barang mewah, hingga pajak supermewah. Lalu kontraktor juga kena PPh 3 persen, demikian juga dengan supplier yang kena PPN. Semua beban pajak itu diakumulasikan pengembang ke harga jual rumah yang harus dibayar konsumen. Rumah sejahtera susun yang seharusnya murah menjadi mahal dan akhirnya tidak terjangkau masyarakat target sasaran.
5) Belum adanya ketersediaan lahan dari pemerintah untuk pembangunan rusun sedangkan harga tanah sangat mahal
Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, berpendapat dengan harga tanah di kota-kota besar yang semakin mahal, sepantasnya Kemenpera menyediakan bank tanah untuk pembangunan rumah susun milik. Di Jakarta, ia menyebutkan, masih tersedia tanah untuk pembangunan rumah susun milik, termasuk lahan milik daerah atau lahan yang berada di belakang gedung bertingkat. Untuk mendapatkan harga tanah sebesar itu sebenarnya tidak sulit karena pemerintah dapat memanfaatkan dana bergulir Badan Layanan Umum (BLU). Setelah dipetakan, tanah-tanah yang akan dibangun rumah susun milik tadi dibeli pemerintah. Dan setelah seluruh tanah dibebaskan, barulah kemudian ditawarkan kepada pengembang yang akan membangun rumah susun milik sehingga dana pemerintah kembali dan dapat dipakai untuk keperluan lain seperti infrastruktur.
UU Rusun yang baru saja disahkan oleh DPR diharapkan menjadi terobosan baru dimana pembangunan rusun tidak mengandalkan APBN serta dapat mengurangi backlog karena pengembang rusun komersil wajib menyediakan rusun 20% dari total luas lantai rusun komersial yang dibangun.
Dengan adanya kewajiban tadi, apa sanksinya bila pengembang tidak memenuhi kewajiban tersebut?
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menjelaskan, pengembang yang tidak memenuhi kewajiban itu akan mendapat sanksi yang cukup berat. Sanksi itu berupa penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar. Selain sanksi pidana, pengembang juga terancam kehilangan izin. Dalam pasal 117 ayat 2 disebutkan sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha atau pencabutan status badan hukum.
Tentunya dengan disahkannya oleh DPR UU Rusun yang diharapkan bisa menjadi terobosan baru, hendaknya pemerintah juga memerhatikan kendala yang selama ini dihadapi oleh pengembang rusun, sehingga program 1000 menara rusun dapat berjalan sukses.
********