Seperti yang pernah di bahas dalam artikel saya sebelumnya tentang Perkumpulan (baca di dan yang ), perkumpulan merupakan salah satu bentuk kerjasama selain , , Persekutuan Perdata (), , dan lain sebagainya. itu sendiri terdiri dari:
1) Perkumpulan yang tidak berbadan hukum (berdasarkan ps.1663-1664 BW) yang tunduk pada Undang-Undang Ormas dan
2) Perkumpulan yang berbadan hukum (berdasarkan Staatsblad 1870 No. 64 – sesuai Keputusan Raja tanggal 28 Maret 1870).
Setelah kita mengetahui ada 2 jenis perkumpulan, yaitu yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum, maka pada pembahasan kali ini saya akan menguraikan secara khusus mengenai Gereja atau Perkumpulan Gereja sebagai bentuk perkumpulan yang berbadan hukum.
Berdasarkan Keputusan Raja tanggal 29 Juni 1925 No. 80 (Staatsblad 1927 No. 156) tentang Regeling van de Rechpositie der Kerkgenootschappen (Peraturan Kedudukan Hukum Perkumpulan Gereja), maka Gereja atau Perkumpulan Gereja, termasuk bagian-bagian yang berdiri sendiri, dianggap sebagai badan hukum (pasal 1).
Untuk dapat dianggap sebagai Gereja atau Perkumpulan gerej, diperlukan surat keterangan dari Gubernur Jendral (sekarang: Dewan Gereja – Sinode). Keterangan tersebut dapat diberikan oleh Gubernur Jendral setelah reglemen-reglemen dan ketentuan-ketentuan tentang susunan dan pengurusan disampaikan secara tertulis (pasal 3). Konkritnya, pendirian Gereja atau perkumpulan Gereja tersebut harus mendapat penetapan dari Dewan Gereja atau Ijin dari Pemerintah atau anggaran dasar dari Perkumpulan tersebut disahkan oleh Dewan Gereja atau Menteri Hukum dan HAM RI. Setiap penggantian pengurus dari Gereja atau Perkumpulan Gereja tersebut juga harus dilaporkan ataupun mendapat Keputusan dari Dewan Gereja.
Namun demikian, keterangan pendirian gereja atau Gereja tersebut dapat ditolak (dinyatakan tidak diberlaku) berdasarkan keputusan yang disertai alasan-alasan setelah mendengar Dewan Penasihat Indonesia (Raad Van Indonesie).
Karena Gereja atau perkumpulan Gereja tersebut berstatus berbadan hukum dan memiliki kedudukan yang sama dengan orang, maka Gereja atau pun Perkumpulan Gereja tersebut dapat memiliki asset tidak bergerak (dalam hal ini tanah dan bangunan) dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) sesuai dengan pasal 36 ayat 1 UUPA (No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria) atau Hak Pakai (sesuai pasal 42 huruf c UUPA).
Sebagai pemegang Hak Atas tanah, gereja juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan pemegang Hak Atas tanah lainnya. Untuk melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut, misalnya jual beli atau sewa menyewa, harus dilaksanakan oleh para pengurus yang berlaku pada saat itu yaitu diwakili “3 serangkai” dalam hal ini Ketua, Sekretaris dan Bendahara.
****
1. Pendirian Himpunan/Ikatan/Paguyuban/Ormas/LSM http://bit.ly/dRILOL
2. Pendirian Lembaga Pendidikan Non Formal (Kursus) http://bit.ly/gmpn1T
3. Pendirian NGO atau LSM Asing di Indonesia
4. Jenis-jenis hak atas tanah dan pengaturannya
5. Penjelasan mengenai Hak Eigendom, Opstal, Erfpacht
6. Jual beli dan balik nama sertifikat
7. Prosedur, Cara dan Syarat Mendirikan CV http://bit.ly/aiZh56
9. Peningkatan Bentuk Usaha dari CV Menjadi PT
10. Dapatkah CV Didirikan oleh Suami Isteri? http://bit.ly/KtwtYT
11. Contoh Akta Pendirian CV http://bit.ly/LDQDMi
12. Firma Sebagai Alternatif Bentuk Usaha http://bit.ly/KF0SBW
13. Maatschap (Persekutuan Perdata) http://bit.ly/KYHfDm
Bu Irma, bgmn dengan status hak atas tanah dari Mesjid? Apakah sebaiknya berbentuk badan hukum Perkumpulan atau Yayasan? Dan bagaimana keberadaan Mesjid yang merupakan hasil Waqaf? Bagaimana proses waqafnya sendiri agar dikemudian hari tidak ada pembatalan niat dari Ahli waris, karena ditempat saya, ada ahli waris yang membatalkan tanah waqaf orang tuanya, padahal orangtua (pewaris) sudah meniatkan tanahnya untuk diwaqafkan.
Saya tunggu tanggapannya. Trims bu Irma
Ferry Indra B.
kalau begitu gereja bisa masuk kategory perusahaankah dalam kewajiban menyangkut harta kekayaan?