Baru-baru di media massa, televisi maupun internet marak memberitakan Bupati Garut Aceng Fikri yang menikah dengan gadis berusia 18 tahun yang bernama Fany Oktora. Tidak kalah serunya di media social seperti twitter dan facebook juga ramai mengomentari pernikahan Bupati Garut ini. Mungkin bila pernikahan ini dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa tidak akan mendapat sorotan public yang demikian luas dan mengundang berbagai kontroversi. Pernikahan singkat (hanya 4 hari) antara Bupati Garut Aceng Fikri dengan Fany Octora yang dilakukan secara di bawah tangan dan tidak dicatatkan secara hukum negara (pernikahan siri) menjadi sorotan publik. Aceng menikahi Fany secara siri pada tanggal 14 Juli 2012 lalu. Pernikahan diadakan tepat pukul 19.30 WIB di rumah pribadi Aceng di wilayah Copong, Garut. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Limbangan, K.H. Abdurrozaq, S.Ag. Namun 4 hari setelah pernikahan, Aceng menjatuhkan talak perceraian melalui SMS. Aceng mengaku sudah tidak ada rasa pada Fany, dengan menyertakan sejumlah alasan diantaranya karena Fany sudah tidak perawan. Aceng juga disebut-sebut masih beristri pada saat menikahi Fany. Wakil Ketua DPR Pramono Anung pada news.detik.com mengomentari, Bupati Garut menjadi contoh tidak baik sebagai kepala daerah. Bicara soal etika dan moralitas seorang pemimpin, pemimpin seharusnya menjadi teladan bagi masyarakatnya. Walaupun tidak ada aturan main mengenai hal itu dan agama memperbolehkan tentang itu. Tentunya menjadi tidak etis kalau pernikahan itu dilakukan dalam waktu 4 hari. Masih menurut Pramono Anung, alasan Aceng menjatuhkan talak juga mengada-ada. Alasan Aceng menjatuhkan talak ke Fany karena gadis belia tersebut ternyata sudah tidak perawan. Pramono Anung mengkritik sikap Aceng menunjukkan arogansi seseorang yang merasa dirinya mempunyai kekuasaan, kaya dan sebagainya, padahal hal tersebut sifatnya relatif sekali.
Apakah talak yang dijatuhkan oleh Aceng itu sah?
Saya sebelumnya sudah beberapa kali membahas mengenai pernikahan siri dan berbagai dampak yang terjadi dengan adanya pernikahan siri tersebut. Artikel-artikel tersebut bisa di baca di sini ( ) di sini () dan di sini ()
Secara khusus, saya juga pernah mengulas mengenai problematika seputar Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan kasus Machicha Mochtar yang menikah siri dengan Alm. Moerdiono. Dimana Machicha menggugat Pasal 2 Ayat 2 dan Pasal 43 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang kewajiban pencatatan perkawinan dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Baca artikel tersebut di sini () di sini dan di sini
Pengaturan masalah perkawinan di Indonesia diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya. Pengaturan lebih khusus bagi orang Islam tentang perkawinan terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991). Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.Dalam pengertian, perkawinan adalah sah apabila telah dilaksanakan menurut rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut. Sedangkan, pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap peristiwa perkawinan yang terjadi beserta akibat-akibatnya. Dalam hal ini pernikahan Aceng dan Fitri tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama, maka pada kasus ini pihak yang dirugikan adalah Fitri. Mengapa? Menurut Nasrulloh Nasution melalui Tanya jawab di klinik hukumonline.com bahwa di dalam hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan, tidak diatur dan tidak dikenal pengertian talak di bawah tangan.
Pasal 117 KHI menyatakan: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131”.
Dengan demikian, talak menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di depan sidang pengadilan agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama, tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama. Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik suami atau istri tersebut masih sah tercatat sebagai suami-istri. Dengan demikian talak yang diberikan Aceng kepada Fitri adalah sah secara agama dan pernikahan mereka yang secara siri (tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama) menyulitkan Fitri untuk balik menggugat Aceng ke Pengadilan Agama karena pernikahan mereka belum sah secara hukum negara.
Apa sanksi yang bisa didapat oleh Aceng sebagai Kepala Daerah?
Aturan tidak boleh berpoligami bagi pemimpin daerah memang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ataupun peraturan daerah.
Namun tentunya Aceng, sebagai Kepala Daerah/ Pegawai Negeri Sipil selain harus tunduk pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya PP No. 9 tahun 1975 yang berlaku untuk semua warga Indonesia, juga tunduk pada PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.
Pasal 4 PP No. 45 tahun 1990 menyebutkan ketentuan seorang PNS boleh berpoligami dengan ketentuan berikut:
1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan
Mengenai sanksi PNS yang melanggar ketentuan tersebut ada di dalam pasal 15 PP No. 45 tahun 1990 yang menjelaskan bahwa PNS yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/ ketentuan Pasal 2 ayat (1),ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat dan ketentuan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
Apa saja yang termasuk hukuman disiplin berat?
Menurut pasal 7 ayat 4 PP No. 53 tahun 2010, hukuman disiplin berat terdiri dari:
1) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
2) pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
3) pembebasan dari jabatan;
4) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
5) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Pernikahan Aceng yang hanya 4 hari memang menuai banyak komentar berbagai kalangan, bahkan media asing ikut tertarik untuk memberitakan kasus ini. Bagi masyarakat,Aceng dianggap merendahkan martabat perempuan apalagi pernikahan merupakan hal yang sakral dan tidak bisa dipermainkan. Berita terakhir dari media televisi pada saat tulisan ini dibuat mengabarkan bahwa untuk perbuatannya tersebut Aceng akan di “impeachment” oleh DPRD melalui proses yang bertingkat.
Referensi:
PP No. 45 tahun 1990 tentang Izin pernikahan dan Perceraian Bagi PNS
PP. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
News.detik.com
Klinik hukumonline.com
1. Akibat Nikah Siri
2. Apakah anak dari perkawinan siri berhak mewaris?
3. Prosedur Pengesahan Nikah Siri
4. Bagaimana agar anak yang lahir dari Perkawinan Siri Bisa Memperoleh Warisan dari ayah
kandungnya?
5. Dampak Putusan MK bahwa anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayahnya
6. Pengertian Anak Luar Kawin menurut putusan MK
7. Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK