Take a fresh look at your lifestyle.

Pro Kontra Pelaksanaan Outsourching Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

1,793

Di masa kini, sudah menjadi hal yang umum bila banyak pengusaha yang mempekerjakan tenaga outsourcing di perusahaannya. Bahkan sekarang di bank-bank pemerintah maupun swasta, sampai dengan di Perusahaan-perusahaan besar plat merah, sebagian besar tenaga kerjanya merupakan tenaga kerja outsourching.

Penawaran tenaga kerja Perusahaan outsourcing amat beragam, mulai dari perusahaan outsourcing yang spesialisasinya hanya sebagai penyedia outsourcing tenaga security sampai perusahaan outsourcing yang menyediakan tenaga kerja dari bermacam-macam bidang. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa perusahaan outsourcing memiliki peran yang sangat besar dalam dunia usaha. Mengapa? Karena dilihat dari sudut pandang pengusaha, menggunakan jasa outsourcing dapat mempermudah merekrut tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Termasuk juga mudah ketika ingin memutuskan hubungan kerja. Dengan adanya bentuk outsourching tersebut, perusahaan juga tidak bingung memikirkan nasib para pekerjanya, karena perusahaan berkontrak dengan perusahaan penyedia jasa outsourching tersebut, tidak dengan masing-masing karyawan yang bersangkutan.

Namun, sebagian besar karyawan merasa bahwa praktik outsourcing ini merugikan hak-hak karyawan, sehingga diajukanlah permohonan pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik Suprijadi.

 

Dari permohonan pengujian UU No. 13 tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi, maka pada tanggal 17 Januari 2012 dikeluarkanlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

 

Apa isi Putusan MK No. 27/PU-IX/2011?

  • Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
  • Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf bUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
  • Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
  • Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
  • Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara RepublikIndonesia sebagaimana mestinya;

 

Apa Akibat dari Putusan MK tersebut?

Putusan MK ini mengakibatkan pemahaman yang berbeda antara pengusaha dan pekerja. Pengusaha menginginkan kepastian berusaha. Putusan MK dinilai melindungi hak normatif pekerja. Seperti yang diulas di dalam www.hukumonline.com, kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat putusan MK terkait pengujian UU Ketenagakerjaan pada 17 Januari lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui surat edaran tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

 

Apa isi surat edaran tersebut?

 

Di dalam artikel www.hukumonline.com, pihak MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.

(Bersambung: “Benarkah Putusan MK Melegalkan Outsourching?”)

Sumber: Hukumonline

Leave A Reply

Your email address will not be published.