Take a fresh look at your lifestyle.

Prosedur Pembelian Tanah Untuk Pembangunan Infrastruktur

3,129

Iwan yang baru saja bekerja di perusahaan multinasional, diminta oleh pemilik perusahaan untuk mencari tanah di sekitar Bogor. Pemilik perusahaan tempat Iwan bekerja ingin membangun pabrik di sekitar lokasi tersebut. Sebenarnya Iwan sudah menemukan lokasi yang cocok untuk perusahaannya, tetapi ia masih belum tahu bagaimana prosedur pembelian tanah untuk pembangunan pabrik. Saat bertemu saya, Iwan langsung berujar, “Mbak, bisa bantu menjawab pe er saya? Saya dapat pe er  dari boss untuk cari tanah di Bogor. Tempat sudah ada, tapi saya belum tahu prosedur pembelian tanah yang telah bersertifikat maupun yang belum mempunyai sertifikat oleh perusahaan (PT) untuk keperluan pembangunan infrastruktur. Apakah pembelian harus mengatasnamakan perusahaan?. Apakah dalam transaksi tersebut tersebut wajib dibuatkan Perjanjian Jual Beli juga?. Apakah perusahaan wajib meningkatkan status tanah awal dari pemilik sebelumnya?”

 

Kebetulan saya baru saja menjawab pertanyaan yang sama di dalam artikel Klinik hukum online. Dalam hal ini, ada beberapa komponen penting yang harus diperhatikan.di dalam setiap transaksi jual beli tanah, sebelum memutuskan untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur (dalam hal ini termasuk pula jual beli pada umumnya).

 

Yang paling penting di ketahui adalah:

 

  1. Tujuan penggunaan tanah tersebut, termasuk seberapa luas nantinya tanah yang akan dibeli.  Sebab hal ini akan berakibat kepada permohonan perijinan untuk penggunaan tanah dimaksud.

 

Jika memang peruntukannya untuk pabrik misalnya, dengan luas tanah lebih dari 5.000-m2 sebaiknya memang atas nama perusahaan. Karena nantinya akan diwajibkan untuk mengurus berbagai perijinan yang terkait dengan usaha perusahaan tersebut, seperti: Ijin lokasi yang harus dilengkapi pula dengan UKL, UPL, Amdal, dan lain sebagainya, dan juga harus mengajukan permohonan rekomendasi dari pemerintah yang terkait (bupati atau gubernur tergantung dari luas tanah yang diajukan). Namun, dalam praktik memang terkadang pengadaan tanah yang tidak terlalu luas memang menggunakan nama-nama perorangan dari pemegang saham atau nama dari salah seorang Direksi Perseroan, dengan salah satu alasan: “Sayang apabila tanah yang sudah berstatus Hak Milik harus terpaksa diturunkan haknya atau dilepas ke Negara kemudian diajukan menjadi Hak Guna Bangunan/Hak Guna Usaha”.

Untuk keadaan demikian, yang harus dicermati dan dipertimbangkan oleh perusahaan adalah:

 

a)  Resiko pembukuan dan perpajakan.

Dalam pembukuan, tanah tersebut tidak dapat dicatatkan sebagai asset Perseroan, melainkan asset perorangan; dan hal tersebut juga akan membebani pajak dari pemegang saham atau Direksi yang namanya digunakan (“dipinjam”) sebagai pemilik tanah tersebut.

b)  Resiko pemegang saham yang namanya dipakai oleh Perseroan meninggal dunia. Apabila hal tersebut terjadi, Dalam hal ini adanya kemungkinan apabila pemegang saham tersebut meninggal dunia, maka tanah tersebut masuk dalam boedel waris dari pemegang saham yang bersangkutan. Dalam praktik memang akan di back up dengan berbagai surat, tapi biasanya tetap akan merepotkan bagi perusahaan di kemudian hari.

c)  Resiko perselisihan di antara para pemegang saham, yang mengakibatkan keluarnya pemegang saham yang namanya dipinjam (dalam bahasa awamnya “pecah kongsi”). Hal ini akan beresiko jika yang bersangkutan tidak memiliki itikad baik terhadap penguasaan tanah tersebut.

 

Serta berbagai resiko lain yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, berbagai resiko tersebut juga harus dipertimbangkan masak-masak oleh Perseroan yang akan melakukan pengadaan tanah sebelum memutuskan untuk “meminjam” nama.

 

  1. Status tanah hak yang akan dibeli.

 

Dari pertanyaan Iwan tadi, peralihan haknya apakah perlu dengan jual beli atau tidak, jawabannya jelas: PERLU.

Karena peralihan hak atas tanah secara teori hanya dapat dilakukan dengan akta van transport (akta peralihan: jual beli, hibah, dll) yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.  Namun untuk pertanyaan anda: “Apakah harus ditingkatkan atau tidak?” ini kembali lagi tergantung pada keperluan perusahaan.

Dalam hal ini, bentuk akta apa yang digunakan untuk melakukan peralihan haknya, tergantung pada:

a)  Status tanah dimaksud dikaitkan dengan status pembeli (apakah nama perorangan ataukah nama PT).

b)  Dalam hal status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai (HP), maka harus diketahui apakah jangka waktu haknya masih ada ataukah sudah berakhir

 

Dari pertanyaan tersebut, timbul berbagai variasi kemungkinan:

 

  1. Jika status tanahnya adalah Hak Milik, sedangkan pembelinya:

1)    Peorangan (dalam hal ini salah satu pemegang saham sebagaimana diuraikan di atas), maka peralihannya cukup dilakukan dengan cara jual beli biasa di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang.

2)    Perseroan, maka pembeliannya dapat dilakukan dengan cara:

a.2.1. Penurunan hak menjadi HGB/HGU/HP, yang dilanjutkan dengan jual beli (setelah menjadi HGB/HGU/HP)

a.2.2. pelepasan hak ke Negara dengan menggunakan akta pelepasan hak secara notariil, yang dilanjutkan dengan permohonan hak oleh badan hukum yang bersangkutan. Pelepasan ke Negara tersebut juga dapat dilakukan jika tanah tersebut belum bersertifikat.

 

  1. jika status tanahnya adalah HGB/HGU/HP

b.1. jangka waktunya masih berlaku: pembelinya baik perorangan maupun Perseroan (badan hukum) bisa langsung melakukan akta jual beli biasa.

 

b.2. jangka waktunya sudah berakhir:

b.2.1. mengajukan permohonan hak kembali atas nama pembeli, setelah haknya timbul, baru dilakukan jual beli biasa

b.2.2. dibuatkan akta jual beli bangunan dan pengoperan hak secara notariil, baru diajukan hak baru oleh pembeli

Alternatif lain:

jika status tanah adalah HGB/HGU/HP, jangka waktunya masih berlaku dan pembelinya adalah perorangan, maka anda dapat memilih untuk tetap pada status tanah HGB/HGU/HP tersebut (untuk itu cukup dilakukan jual beli dan balik nama), ataukah anda ingin berstatus Hak Milik (dimana dapat dilanjutkan dengan proses peningkatan status tanah tersebut).

 

Pembaca, mengenai uraian lengkapnya tentang prosedur dan tata caranya bisa dibaca di buku saya tentang “Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam Memahami Masalah Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).”

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.