Menyambung artikel saya sebelumnya tentang “Pro Kontra Pelaksanaan Outsourching Pasca Putusan MK” , Masih dari artikel www.hukumonline.com, meskipun dua model usulan Mahkamah diarahkan untuk melindungi pekerja, kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai putusan MK makin melegalkan praktik outsourcing. Saeful Tavip, Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menyayangkan MK tidak mengabulkan penghapusan outsourcing, malah makin melegalkan karena salah satu pertimbangan MK menyatakan outsourcing itu bukan perbudakan modern. Ia sangat menyesalkan pendapat dan pandangan itu
Ada tiga hal penting yang dikritik oleh Saeful Tavip.
1) Putusan MK mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistim ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih bekerja di perusahaan penyedia (agent) tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja (user). Kalangan serikat pekerja lebih menginginkan outsourcing yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja (bukan borongan) dihapuskan. Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pengguna tenaga kerja secara langsung tanpa outsourcing.
2) Putusan MK memperkecil jarak benefit yang diperoleh pekerja outsourcing dengan pekerja tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi penting, sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapan. Dalam konteks ini, Saeful menyambut baik putusan Mahkamah. Meski, tetap saja pekerja outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di perusahaan pengguna tenaga kerja.
3) Posisi tawar pekerja outsourcing sangat lemah terutama membentuk serikat buruh. Ketika pekerja ingin menuntut kenyamanan di tempat kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana: perusahaan penyedia atau pengguna tenaga kerja.
Saeful tidak yakin implementasi putusan berjalan baik. Sistim pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan belum maksimal. Kalangan pekerja menilai Pemerintah belum konsisten ‘menjewer’ perusahaan nakal yang tidak mematuhi peraturan ketenagakerjaan. Fenomena ini bukan hanya menimpa pekerja tetap, tetapi juga pekerja outsourcing.
Sebaliknya, di tempat terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jakarta Soeprayitno menyebutkan putusan Mahkamah itu ditujukan untuk melindungi hak normatif pekerja. Ketika perusahaan pemberi kerja mengalihkan sebagian pekerjanya ke perusahaan outsourcing bukan berarti pemangkasan biaya. Putusan Mahkamah baginya tidak akan menjadi masalah untuk pengusaha jika perusahaan yang bersangkutan memiliki skala upah dan evaluasi pekerjaan. Ditambahkan Soepriyatno, yang diinginkan pengusaha adalah kepastian usaha. Putusan Mahkamah dapat berdampak pada kepastian usaha yang menjadi ribet karena setiap bidang usaha memiliki struktur biaya yang berbeda-beda. Putusan MK, kata dia, tidak serta merta dapat langsung diterapkan pengusaha sebab putusan Mahkamah tidak berlaku surut. Maka jika ada perusahaan yang sedang melakukan dan melaksanakan perjanjian terkait penggunaan outsourcing dapat berjalan sampai berakhirnya perjanjian.Sebelum diimplementasikan, pemerintah harus melakukan sosialisasi dengan tripartit nasional yang terdiri dari unsur serikat, organisasi pengusaha dan pemerintah. Hal ini dilakukan agar setiap pihak yang terkait tidak salah dalam menafsirkan putusan itu.
Benarkah Putusan MK ini bertentangan dengan UUD 1945?
Menyikapi hal tersebut, Kepala Biro Hukum Kemenakertrans Sunarno menyebutkan surat edaran yang diterbitkan Kemenakertrans ditujukan agar masyarakat lebih mudah memahami inti putusan dari Mahkamah. Hal yang paling utama dalam putusan itu menurutnya adalah perlindungan hak normatif bagi pekerja. Serta perjanjian kerja waktu tertentu itu tidak melanggar UUD 1945. Kepastian itu menurutnya terjadi ketika pekerja outsourcing diangkat menjadi pekerja tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Pekerja akan mendapatkan hak normatifnya berupa pesangon jika di PHK. Selain itu yang kedua jika didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu maka ketika perusahaan penyedia tenaga kerja berganti, pekerja tetap mendapat hak normatifnya. Salah satunya berupa masa kerja yang tetap dihitung.
Sunarno mengusulkan agar pasal-pasal UU Ketenagakerjaan yang sudah diuji Mahkamah dimuat dalam peraturan setingkat Undang-Undang agar masyarakat tahu. Saat ini Kemenakertrans masih menyusun peraturan menteri terkait putusan Mahkamah itu sebagai dasar hukum. Menurutnya peraturan menteri itu sebagai pelaksanaan dari UU (Ketenagakerjaan,-red). Pasal-pasal tertentu telah diuji oleh MK, dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap. Maka bisa meng-gradasi Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksanaan. Oleh karena itu yang tepat adalah hasil uji materi MK itu dirumuskan dalam UU yang baru.
Saya pribadi berpendapat, secara bisnis, memang praktik outsourching tersebut memudahkan bagi pemberi kerja/pengusaha untuk mengatur mengenai pekerjanya. Karena tidak bisa dipungkiri, masalah SDM merupakan masalah yang cukup pelik bagi semua perusahaan. Gaji karyawan merupakan biaya tetap, dimana penghasilan dari pengusaha atau perusahaan itu sendiri masih berupa penghasilan yang belum dapat dipastikan jumlahnya. Perekrutan pegawaidalam bentuk outsourching dalam praktik dianggap lebih memudahkan bagi pengusaha untuk mengatur cash flow dan disesuaikan dengan volume pekerjaan dan volume pendapatan yang diterima. Namun di satu sisi, pegawai membutuhkan adanya kepastian bahwa yang bersangkutan masih dapat bekerja sampai waktu yang tidak ditentukan lamanya, sehingga kepastian tersebut menciptakan ketentraman dalam diri pegawai dimaksud untuk dapat merencanakan masa depannya seperti mencicil rumah, kendaraan, atau mengatur pengeluaran dan kehidupan rumah tangganya secara umum. Banyak dijumpai di perusahaan-perusahaan, terjadi kesenjangan yang cukup tinggi antara tunjangan yang diterima oleh pegawai tetap dengan pegawai outsourching; padahal secara kemampuan teknis, pegawai outsourching terkadang malah lebih handal dan qualified dalam pekerjaannya. Hal ini mungkin juga disebabkan si pegawai outsourching tersebut harus “terus berjuang” agar dirinya bisa tetap bermanfaat bagi perusahaannya sehingga kontraknya diperpanjang. Hal ini tentunya baik dan menciptakan iklim kerja yang lebih kompetitif, dibandingkan para pekerja tetap yang sudah menciptakan “zona aman” nya sendiri sehingga cenderung kurang bersaing. Oleh karena itu, kembali menurut pendapat saya secara pribadi, saya setuju outsourching tidak dihapuskan sama sekali, akan tetapi dibuatkan kriterianya, seperti:
1. batas maksimal perbandingannya antara pekerja tetap dengan pekerja outsourching tersebut. Sehingga jumlahnya mungkin sekitar maksimal 20% -35% saja dari total pekerja tetap.
2. Dibatasi mengenai jangka waktu berapa kali si pekerja outsourching tersebut di kontrak, dan selanjutnya dapat diangkat sebagai pegawai tetap; hal mana tidak diperbolehkan untuk “diakali” dengan cara diberhentikan dulu, baru di angkat kembali seperti yang banyak dilakukan dalam praktik sekarang ini.
Nah pembaca, kita sama-sama berharap semoga saja di dalam implementasinya, Putusan ini bisa memberikan dampak yang positif baik bagi pihak pekerja maupun pihak pengusaha.
Sumber:
www.hukumonline.com