Pada Artikel sebelum nya kita sudah membahas mengenai Celah-celah dalam Perpres Beneficial Ownership. Kemudian mengenai hak akses yang ada pada Perpres No.13 Tahun 2018 Pasal 27 ayat (3) yang menyebut Pemberian informasi Pemilik Manfaat secara elektronik oleh Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian hak akses kepada instansi peminta. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan instansi peminta yang dimaksud yaitu penegak hukum, instansi pemerintah dan otoritas berwenang dari negara atau yurisdiksi lainnya.
(Baca Juga: Perpres Beneficial Ownership Demi Jaga Integritas Korporasi)
Selanjutnya bagaimana mekanisme jika ada permintaan dari negara lain terkait korporasi yang ada di Indonesia?” Iya inti dari transparansi sebenarnya itu, itu yang diminta, yang up to date, transparansi dalam konteks itu. Nanti ada MLA, pertukaran informasi melalui PPATK, Central Authority itu maksudnya jalur-jalur internasional, yang ada kaitannya dengan alat bukti.
Sementara itu, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menjelaskan mengenai sanksi yang diberikan berkaitan dengan Perpres tersebut. Menurut Dian, Perpres ini hanya mengatur secara umum mengenai pengertian korporasi dan juga pemilik manfaat dari korporasi itu sendiri. Dan untuk sanksi dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan bidang dan jenis dari korporasi itu sendiri.
“Persis seperti itu, Perpres mengatur berbagai badan hukum, itu ada peraturan perundang-undangan sendiri maka itu dikembalikan lagi apa itu nantinya sanksi pencabutan usaha, status PT, macam-macam dalam konteks jelas dia sebagai pelaku pasif atau aktif money laundring itu akan dikenakan pasal UU Nomor 8 Tahun 2010, termasuk UU Terorisme.
Sedangkan berkaitan dengan hak akses, ia berpendapat ada aturan yang lebih mendetail tentang hak akses antar negara. Menurut Dian, saat ini seringkali terjadi tindak kejahatan lintas negara seperti narkotika, terorisme hingga kasus tindak pidana korupsi yang saling berkaitan antara satu negara dengan negara lain, hal ini tentu saja memerlukan kerjasama yang lebih luas untuk mengungkap kasus-kasus tersebut.
“Kewajiban kita juga untuk mendistorse kalau korporasinya di sini indikasi terlibat, bisa dan harus bisa. Kita sekarang korupsi aja sudah lintas batas. Dalam arti ada kasus berkaitan dengan pajak itu dilakukan di luar (seperti Panama Papers), bukan kita saja yang ngasih informasi tapi mereka juga bisa meminta informasi,” pungkasnya.
Poin terakhir berkaitan dengan kepemilikan manfaat sebesar 25 persen yang ada dalam Pasal 4 hingga Pasal 10 sudah bisa dikategorikan sebagai Beneficial Ownership. Jika dilihat angka ini memang terbilang kecil untuk mengendalikan sebuah perusahaan ataupun korporasi, tetapi menurut Dian angka tersebut tidak keluar begitu saja karena sebelumnya telah ada di peraturan perundang-undangan lainnya dan dianggap relevan untuk digunakan dalam aturan ini.
“Ini bukan yang baru, ketentuan perbankan yang dibilang Pemilik Saham Pengendali (PSP) itu 25 persen itu sudah cukup signifikan pengaruhi kebijakan. Ada (di peraturan perbankan) soal pemegang saham pengendali,” tuturnya.Berikut pasal-pasal dalam Perpres No.13 Tahun 2018 terkait dengan Kepemilikan Saham Hingga Kepemilikan Manfaat sebesar 25 persen dikategorikan ke dalam Beneficial Ownership:
Referensi Hukum
PerPres No.13 Tahun 2018 Pasal 27 ayat 3