Tenriagi adalah seorang pengusaha yang berkecimpung di bidang industry pariwisata di Makassar. Menjelang lebaran, Tenriagi ingin menambah armada angkutan Bus Pariwisata nya sebanyak 10 unit. Untuk itu, Tenriagi mengajukan permohonan kepada Bank Syariah untuk membiayai pembelian atas 10 unit Bus Pariwisata tersebut. Bank Syariah kemudian menawarkan skema sewa menyewa (Ijarah) yang di akhiri dengan peralihan kepemilikan pada akhir masa sewanya. Dalam konsep syariah hal ini dikenal dengan istilah Ijarah Muntahiya bittamlik (IMBT).
Pada dasarnya, system skema pembiayaan IMBT ini juga dikenal dalam hukum konvensional, yaitu skema Sewa Beli (leasing). Jadi, seperti halnya pada sewa beli, konsep awal dari perjanjian antara Bank Syariah dengan Tenriagi pada kasus tersebut di atas adalah Perjanjian Sewa Menyewa. Pada saat pembayaran sewa tersebut, posisi Tenriagi dimata hukum adalah selaku penyewa, dan objek yang di IMBT kan kepemilikannya masih berada di tangan Bank Syariah (selaku pemilik barang). Oleh karena itu, cicilan atau angsuran pembayaran yang dilakukan oleh Tenriagi setiap bulannya adalah pembayaran biaya sewa.
Pada akhir masa sewa, Tenriagi diberikan hak opsi untuk membayar “nilai tebus” atas barang yang disewanya. Pada saat Tenriagi membayar suatu nilai tebus tersebut, maka pada saat itulah beralih kepemilikan atas barang dari semula milik Bank Syariah, menjadi milik Tenriagi.
Sebagai contoh begini:
Harga mobil tersebut sebesar Rp. 100jt/unit. Jangka waktu sewa selama 24 bulan. Pembayaran sewa bulanan atas mobil tersebut oleh Bank Syariah ditetapkan sebesar Rp. X per bulan. Selama bulan 1 sampai dengan bulan ke 24, Tenriagi bertindak selaku penyewa atas mobil dimaksud dan kepemilikan atas barang tersebut masih berada di tangan Bank. Pada akhir bulan ke 24, terdapat nilai tebus sebesar Rp. 10,- .Pada saat Tenriagi membayar nilai tebus tersebut, maka barulah terjadi perpindahan kepemilikan atas mobil dimaksud dari Bank Syariah kepada Tenriagi.
Perbedaan antara Jual beli secara Murabahah dengan jual beli melalui mekanisme IMBT
Secara awam, sepintas tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skema Murabahah dengan skema IMBT. Karena nasabah sama-sama membeli barang dengan melalui Bank Syariah, dan selanjutnya pembayarannya dilakukan dengan menggunakan mekanisme cicilan. Namun secara hukum, terdapat titik berat perbedaannya, yaitu: saat peralihan kepemilikan. Saat peralihan kepemilikan tersebut berakibat juga pada saat terjadinya peralihan resiko.
Pada skema Murabahah, peralihan hak terjadi pada awal akad, selanjutnya Bank Syariah memberikan keleluasaan kepada nasabah untuk mencicil pembayarannya dalam jangka waktu tertentu. Namun dalam system pembukuannya, barang yang dibeli tersebut sudah dapat dibukukan sebagai asset nasabah. Dalam hal terjadi resiko selama masa cicilan tersebut, maka resiko tersebut menjadi tanggung jawab nasabah selaku pemilik barang.
Dalam skema IMBT, pada awalnya nasabah hanya bertindak selaku penyewa. sehingga barang yang disewa tersebut tetap dianggap sebagai asset/milik Bank Syariah. Pada akhir masa sewa, barulah barang tersebut beralih kepemilikannya dari Bank Syariah kepada nasabah. Dalam hal terjadi resiko selama masa sewa, maka resiko tersebut menjadi tanggung jawab Bank. Demikian pula jika nasabah tidak dapat membayar uang sewa, maka Bank berhak untuk sewaktu-waktu menarik barang tersebut.
(Bersambung)
Sumber:
1. Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam Memahami Akad Syariah karya Irma Devita (Kaifa, 2011)
2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Sumber foto: 123.Royalti Free
1. Bank Syariah, si cantik yang sedang mekar
2. TTUN, Perlukah?
3. Jual Beli Murabahah sebagai alternative pembiayaan
4. Murabahah, menuju pembiayaan yang murni syariah
5. Jangan Tunggu Kaya Untuk Berwakaf
6. Nazir Sebagai Pengelola Wakaf
7. Wakaf Tanah Produktif Untuk Jangka Waktu Tertentu
8. Sewa Menyewa (Ijarah) sebagai salah satu skema pembiayaan
9. Akad Ijarah Dalam Skema Pembiayaan Syariah http://bit.ly/1vPoWr9