Budaya konsumtif yang semakin merajai, membawa efek semakin meningkatnya jumlah sampah. Khususnya sampah-sampah plastik dan yang tidak bisa diurai oleh tanah. Hal ini tentu membutuhkan penanganan khusus dan cermat. Tidak hanya kampanye pada gaya hidup zero waste, tapi juga perlunya pemerintah untuk terjun langsung mengatasinya. Ini dikarenakan, beberapa waktu terakhir ini, banyak keluhan terkait penuhnya Tempat Pemilahan Akhir (TPA) yang ada di beberapa wilayah. Sampah merupakan persoalan krusial yang harus diatasi dengan solusi cermat yang dapat diterapkan oleh semua kalangan masyarakat.
Kasus yang seringkali terjadi adalah menumpuknya timbunan sampah sehingga melebihi daya tampung kapasitas TPA. Akibatnya, daya tampung TPA jebol, sampah meluber dan limbahnya mencemari lahan di sekitarnya yang notabene adalah milik masyarakat. Biasanya lahan di sekitar TPA adalah lahan pertanian produktif milik warga, seperti sawah, kebun dan ladang. Hal ini tentu menimbulkan kerugian bagi warga yang berpenghasilan sebagai petani. Belum lagi soal kesehatan warga di sekitaran TPA. Apalagi jika limbah tersebut sampai mencemari sumber-sumber air milik warga. Tentu hal ini menjadi sebuah permasalahan yang tidak hanya bisa diatasi dengan kampanye pengurangan sampah plastik.
Salah satu contoh kasusnya adalah yang menimpa warga Desa Tipar Kidul, Kecamatan Ajibarang. Pencemaran yang ditimbulkan oleh TPA Tipar Kidul membuat warga melayangkan gugatan perdata kepada Pemkab Banyumas. Adapun sejumlah tuntutan warga di antaranya adalah ganti rugi terkait dengan pencemaran TPA Tipar Kidul dan penutupan TPA setempat. Sebagai tergugat adalah Pemkab Banyumas cq Bupati Banyumas Achmad Husein dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas. Sebagai obyek sengketa adalah TPA sampah di Desa Tipar Kidul yang dibangun pada 1998 lalu. Dalam gugatannya, obyek sengketa itu tidak memenuhi ketentuan UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Pertimbangan untuk memutuskan lahirnya tentang Pengelolaan Sampah merupakan rangkuman kegelisahan yang selama ini terjadi. Khususnya di Indonesia. Pemerintah merasa perlu melahirkannya untuk mengatur segala hal yang terkait tentang pengelolaan sampah.
Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sampah telah menjadi permasalahan nasional. Hal ini membuat pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat.
Dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.
Terkait dengan limbah yang ditimbulkan oleh TPA, pemerintah telah mengaturnya dalam UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Hal tersebut tercantum dalam Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Pasal 11 ayat 1 huruf (d) yang berbunyi :
Setiap orang berhak : mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah
Ketentuan terkait bagaimana prosesnya dan seperti apa perincian kompensasi yang harus diberikan, diatur dalam ayat 2, yang berbunyi :
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah dan peraturan daerah sesuai dengan kewenangannya.
Jadi, terkait hal ini nanti penangananya langsung oleh Pemerinah Daerah dan instansi terkait sesuai dengan kebijakannya yang merujuk pada Undang-Undang ini.
Dalam Bab VII Pembiayaan dan Kompensasi, Pasal 25 (1) yang berbunyi :
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah secara sendiri- sendiri atau bersama-sama dapat memberikan kompensasi kepada orang sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. relokasi; b. pemulihan lingkungan; c. biaya kesehatan dan pengobatan; dan/atau d. kompensasi dalam bentuk lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dampak negatif dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah.
Untuk itu, ketika limbah TPA mencemari warga, tentu pemerintah selaku pemegang kebijakan tertinggi wajib memberikan kompensasi dan segera menanganinya. Jika dibiarkan berlarut-larut, permasalahan seperti ini tentu akan menimbulkan konflik sosial yang lebih besar. Sebagai refleksi diri, tidak ada salahnya jika suatu waktu kita pergi ke TPA, melihat sendiri kondisi dan suasana di sana. Hal tersebut akan menjadi refleksi bagi kita, tentang kemana sampah-sampah kita akan berakhir. Mungkin bertumpuk di TPA hingga mencemari dan mengganggu kesehatan warga sekitar. Mungkin di lautan dan akhirnya mencemari laut serta merusak ekosistem di sana. Hal tersebut akan membantu kita untuk semakin bijak dalam mengurangi sampah tentunya. Namun jika permasalahan besar di atas terjadi, tentu butuh support sistem dari semua pihak, khususnya pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi.
Referensi : UU No.18/2008