Take a fresh look at your lifestyle.

Dapatkah Covid-19 Dianggap Peristiwa Force Majeure Dalam Kontrak?

7,621

Corona virus disease (Covid-19) ditetapkan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 lalu oleh World Health Organization (WHO). Penetapan ini didasarkan pada persebaran virus secara geografi yang telah mencapai 114 negara. Sebelum menjadi pandemi, virus corona disebut sebagai wabah, ketika menjangkiti penduduk Wuhan, Tiongkok. Ia menyebabkan pneumonia sehingga jumlah kasus penyakit tersebut langsung meningkat dengan signifikan. Penyebarannya ke wilayah geografis lebih luas, menginfeksi penduduk di luar Wuhan, bahkan seluruh Tiongkok. Hal inilah yang menyebabkan virus ini ditetapkan sebagai epidemi. Penyebaran epidemi yang berlanjut ke negara-negara lain, mengakibatkan penularan lokal dan menimbulkan wabah disebut sebagai pandemi. Dalam sejarahnya, selain Covid-19, yang terdekat, WHO pernah menetapkan flu babi sebagai pandemi pada Juni 2009 ketika 74 negara sudah terinfeksi. Adapun, masa pandemi ini baru berakhir pada Agustus 2010.

Dalam kondisi ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan mulai dari relaksasi impor alat kesehatan, penetapan sebagai bencana nasional hingga Pembatasan Sosialisasi Berskala Besar (“PSBB”). Segala upaya dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus corona tanpa mengesampingkan hal-hal terkait tetap berputarnya roda ekonomi. Banyak hal terjadi. Pandemic ini membuat semua orang harus beradaptasi sebisa mungkin dalam banyak situasi. Segalanya beralih menjadi online. Pembatasan yang diterapkan pemerintah tentu menghambat gerak semua orang yang terbiasa melakukan pekerjaan secara manual. Semua pekerjaan dan transaksi mulai beralih ke cara kerja secara online.

Hal ini juga berdampak pada para pelaku usaha. Imbas ini membuat mereka tidak bisa menjalankan usahanya secara normal. Tak sedikit yang tentu saja terpukul dengan fenomena ini. Namun, banyak juga yang berinovasi untuk menyesuaikan diri.

Nah, bagaimana jika keadaan tersebut membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya? Dapatkah COVID – 19 dianggap Peristiwa Force Majeure Dalam Kontrak?

Secara etimologis, force majeure berasal dari bahasa Perancis yang berarti “kekuatan yang lebih besar”. Dalam Black’s Law Dictionary, disebut sebagai “an event or effect that can be neither anticipate nor controlled”. Namun, secara konteks hukum perdata, force majeure adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat menjalankan kewajibannya bukan karena ia sengaja atau lalai, melainkan karena ada hal-hal yang ada di luar kuasanya dan mempengaruhi dirinya untuk tidak menjalankan kewajibannya (overmacht).

Prof Subekti, membagi pengertiannya menjadi dua. Force Majeure atau keadaan memaksa merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Menurutnya, Force Majeure merupakan suatu alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur.

Dalam peraturan perundang-undangan sektoral, seperti halnya pada Pasal 1 ayat (52) PP 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, “Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi”. Sedangkan dalam Pasal 47 UU 2/2017 Tentang Jasa Konstruksi, ““yang dapat ditafsirkan bahwa keadaan memaksa adalah kejadian yang yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam putusan MA No.3389K/Pdt/1984, Ia dimaknai secara luas. Intisari yang dapat diambil adalah menyatakan bahwa tindakan administratif penguasa yang sah dalam arti kebijakan pemerintah secara mendadak yang tidak dapat diprediksi oleh para pihak juga dapat dikualifikasikan sebagai force majeure. Secara umum, Intisari yang dapat diambil adalah menyatakan bahwa tindakan administratif penguasa yang sah dalam arti kebijakan Pemerintah secara mendadak yang tidak dapat diprediksi oleh para pihak juga dapat dikualifikasikan sebagai force majeure.

Dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata, Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeure adalah:

  1. Adanya kejadian yang tidak terduga;
  2. Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
  3. Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
  4. Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

Ketentuan force majeure dalam perjanjian, dalam hal tidak terdapat klausula force majeure perlu kiranya melihat ketentuan-ketentuan di KUHPerdata (ataupun di peraturan sektoral), adapun kriterianya adalah sebagai berikut :

  1. mengalami “impossibilitas” yang tak dapat diperhitungkan sebelumnya (ontoerenkenbare onmogelijkheid) sehingga dalam keadaan tersebut risiko kerugian tidak patut dibebankan kepadanya.
  2. rintangan dan halangan yang membuat debitur dalam keadaan tidak mungkin memenuhi perjanjian, disebabkan oleh sesuatu peristiwa/kejadian yang berada di luar kesalahan atau kelalaian debitur, dalam hal ini debitur menghadapi halangan/rintangan abnormal di luar batas kemampuannya atau di luar kesalahan, kelalaian dan itikad baiknya.
  3. rintangan itu haruslah rintangan yang langsung terhadap prestasi itu sendiri. Bukan rintangan atau diri pribadi/person si debitur seperti jatuh miskin, jatuh sakit dan kenaikan harga.

Itu tadi informasi yang dapat kami sampaikan terkait dengan Force Majeure Dalam Kontrak. Terima kasih, Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, jangan lupa untuk bergabung dengan diskusi yang informasinya dapat dilihat melalui instagram @idlc.id.

Penjelasan tentang Relaksasi Kredit ini bisa juga didengarkan melalui podcast Ngopi Hukum by IDLC.ID di link ini

 

Materi ini disampaikan dalam Sharing Session DPC PERADI Jakarta Pusat & IDLC. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan pembelajaran bersama ?

(Bersambung ke Apakah Pandemi COVID­-19 bisa dijadikan sebagai dasar Force Majeure ?)

Leave A Reply

Your email address will not be published.