Jika dalam pembahasan sebelumnya sudah pernah dijelaskan mengenai apa saja sih tumpang tindih peraturan tersebut terutama pada masa pandemic Covid-19? Dan apa dampaknya bagi pengaturan dan kehidupan bernegara? am hal tidak terdapat klausula force majeure perlu kiranya melihat ketentuan-ketentuan di KUHPerdata sebagai mana pernah di ulas di sini. Maka kali ini kita akan membahas tentang
Undang-Undang Karantina Kesehatan dapat menjadi dasar hukum “lock down” yang diatur dengan istilah “Karantina Wilayah”, “social distancing” yang diatur dengan istilah “Pembatasan Sosial Berskala Besar”, di samping itu terdapat pengaturan tentang Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Isolasi. Pasal 49 Undang-Undang Karantina Kesehatan sendiri memberikan kewenangan pada Menteri Kesehatan untuk menetapkan Karantina Kesehatan dan Pembatasan Sosial. Jadi apabila dilihat kembali sebanarnya Indonesia memiliki undang-undang yang memungkinkan Karantina Kesehatan dalam berbagai bentuk mulai dari karantina rumah, “social distancing”, sampai “lock down”. Selain itu secara kelembagaan undang-undang yang ada mengadakan lembaga-lembaga seperti BNPB, Pejabat Karantina Kesehatan, dan keterlibatan pemerintah daerah yang dapat dioptimalisasi dalam penanganan wabah. Sayangnya dalam beberapa hal terdapat ketidak-harmonisan regulasi, sebagai contoh BNPB yang menjadi lembaga sentral dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana tidak disebutkan sama sekali dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan. Termasuk ketentuan kontradiktif antara Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Karantina Kesehatan yang memicu kegamangan apakah sebenarnya Pemda bisa serta-merta melaksanakan Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Bersamaan dengan itu, tantangan era ekosistem masyarakat digital sudah menghadang di depan mata. Indonesia tidak boleh berlama-lama terbelit oleh prosedur formal. Sebuah terobosan kebijakan dalam proses penyusunan undang-undang haruslah segera dilahirkan. Berpijak dari urgensi inilah, maka jalan satu-satunya untuk menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui skema Omnibus Law. Definisi Omnibus Law berasal dari kata omnibus dan law. Kata omnibus berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti “untuk semuanya” atau “banyak”. Bila digandeng dengan kata law, yang berarti hukum, maka Omnibus Law dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua. Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition karya Bryan A Garner disebutkan: “omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; inculding many thing or having varius purposes”, yang artinya berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Jadi, konsep Omnibus Law merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja. Lebih jauh dapat disimpulkan, bahwa Omnibus Law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai semacam—sebutlah itu—”undang-undang payung hukum” (umbrella act). Dan ketika peraturan semacam payung hukum itu diundangkan maka konsekuensinya bakalan mencabut beberapa aturan tertentu di mana norma atau substansinya juga bukan tidak mungkin bakalan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Ada beberapa kelebihan penerapan konsep Omnibus Law dalam menyelesaikan sengketa regulasi di Indonesia, antara lain ialah:
- Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal secara cepat, efektif dan efisien.
- Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi;
- Memangkas pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif;
- Mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit;
- Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu;
- Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pengambil kebijakan.
Banyak ulasan mengatakan, UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sejauh ini belum disusun dengan tujuan mengakomodasi keberadaan Omnibus Law. Namun mengingat penyusunan undang-undang merupakan produk kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR, jelas bukan mustahil skema Omnibus Law bakal diimplementasikan dalam proses legislasi ke depan. Terlebih jika mengingat aspek urgensi dan signifikansi dari skema Omnibus Law. Bukan saja bertujuan mengharmonisasi dan mengakhiri tumpang tindih regulasi yang terjadi selama ini, skema Omnibus Law juga bakal sanggup mengdongkrak perbaikan kualitas regulasi di Indonesia sehingga diharapkan tercipta iklim pro investasi dan kemudahan izin berusaha.
Nah hal ini akhirnya menjadi semacam tumpang tindih didalam pembuatan regulasi. Tumpang tindih merupakan salah satu tanda Negara yang korup, ini bukan satu hal yang baru karena sudah ada sejak pada jaman VOC. Sebaiknya pada saat pandemi ini kita harus memperhatikan dua hal, yang pertama tentang pernyataan para perjabat yang terlampau terburu-buru dan kedua soal regulasinya itu sendiri. Contohnya lagi soal ojek dalam aturan PSBB yang tidak memperbolehkan berkapasitas dua orang, hal ini terdapat di Undang-undang karantina kesehatan yang diturunkan dalam peraturan-peraturan dibawahnya. Kemudian muncul peraturan perhubungan yang memperbolehkan sepeda motor yang berkapasitas dua orang sepanjang jarak tempuhnya dekat, Gubernur DKI juga memperbolehkan sepeda motor berkapasitas dua orang asal tujuannya sama. Permenhub menjelaskan bahwa sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan komersial seperti ojek boleh mengangkut penumpang. Jadi ada dua regulasi yang kedudukannya sama tetapi ada juga yang kedudukannya berbeda dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Masalahnya terdapat pada kurang kreatifnya pejabat hukum dalam membuat peraturan, karena dalam membuat suatu kebijakan misalnya tentang transportasi umum harus ada semacam blueprint yaitu kerangka kerja terperinci (arsitektur) sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus kegiatan serta langkah-langkah atau implementasi yang harus dilaksanakan oleh setiap unit di lingkungan kerja. Blueprint misalnya transportasi umum apa saja yang diperbolehkan, kemudian kebijakan yang mengatur akan seperti apa dan segala macamnya. Blueprint ini yang tidak pernah dibuat jadi ketika membuat Undang-undang akhirnya dibuat delegasi pengaturan ke peraturan pemerintah. Seharusnya pada saat akan membuat norma harus dipikirkan secara lebih detail. Namun wajar saja doktrin sejak SD bahwa Undang-undang dasar dibuat ringkas agar lebih mudah dipahami, dan generasi yang diberi doktrin itulah yang sekarang memimpin Negara ini sehingga mereka memang tidak memiliki kreatifitas untuk melihat persoalan-persoalan di tingkat teknis.
Itu tadi informasi yang dapat kami sampaikan terkait dengan Penerapan Konsep Omnibus Law Dalam Regulasi di Indonesia. Terima kasih, Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, jangan lupa untuk bergabung dengan diskusi yang informasinya dapat dilihat melalui instagram @idlc.id. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan pembelajaran bersama.