Memasuki tahun 2020, semakin banyak kita dikejutkan oleh kasus pelecehan seksual yang sempat viral di medsos. Begal payudara di Bekasi, begal bokong di Jatinegara, pria masturbasi di beberapa wilayah, pelecehan seksual kepada murid dan santri, pelecehan seksual yang dilakukan oleh aktivis di Jakarta dan beberapa kasus lain yang tersebar di seluruh negeri. Itu masih di awal tahun 2020 saja dan yang sempat terpublikasikan oleh media dan ramai di medsos. Padahal beberapa kasus pelecehan seksual di tahun 2019 lalu, bahkan tahun-tahun sebelumnya juga masih ada yang tak menemukan titik temu. Masih banyak kasus pelecehan seksual yang belum sempat tertangani dan tercium oleh hukum. Terkadang, penyelesaiannya pun sepihak, tidak adil dan tidak berpihak pada korban.
Tahun 2019, Indonesia tercatat sebagai negara ke-2 paling berbahaya bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik. Setiap tahunnya kasus pelecehan seksual terus bertambah. Komisi Nasional Perempuan mencatat adanya 2.988 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Ia meliputi pencabulan (1.136), perkosaan (762), pelecehan seksual (394), dan persetubuhan (156). Itu masih yang dilaporkan ya, bisa kita bayangkan ada berapa banyak kasus yang tidak dilaporkan?
Faktanya, tidak semua korban pelecehan seksual punya keberanian untuk melaporkan apa yang telah menimpanya. Sehingga banyak yang tidak tertangani secara hukum. Akibatnya, beberapa kasus terus terulang dan memakan banyak korban. Dan pelakunya sendiri, tidak pernah bisa kita bayangkan. Bahkan, beberepa diantaranya berkeliaran di sekitar kita. Ada di satu lingkungan sekolah dengan anak-anak kita. Satu lingkungan pekerjaan dengan kita. Berkeliaran di transportasi umum dan ruang public. Duh, serem ya ketika membayangkannya.
Sayangnya, istilah pelecehan seksual masih belum dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal istilah perbuatan cabul. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pelaku pelecehan seksual berarti orang yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
Sebenarnya, ada atau tidak sih dasar hukum yang mengatur tentang kasus pelecehan seksual? Mengingat banyak sekali korban yang masih awam hukum, setidaknya kita bisa mempelajarinya. Yuk simak penjelasan berikut ini ?
Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), Perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293).
Berikut adalah beberapa pasal dari KUHP mengenai kejahatan pelecehan seksual atau lebih dikenal dengan perbuatan cabul:
Pasal 285 meliputi perkosaan: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 meliputi persetubuhan tanpa kesadaran penuh dari korban: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287 meliputi persetubuhan diluar perkawinan dengan korban dibawah umur: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Undang-undang tersebut juga telah diimplementasikan untuk memberikan keadilan kepada korban korban pelecehan seksual.
Istilah “perbuatan cabul” untuk merujuk Pasal 289 KUHP, yang berbunyi :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pasal 290 KUHP menyatakan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, apabila :
- Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
- Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
- Membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Pelecehan seksual bukan lagi hanya masalah personal si korban saja, tapi sudah menjadi permasalahan bangsa dan seluruh masyarakat. Hukum harus ditegakkan untuk mencari keadilan dan mengurangi jumlah kasus pelecehan seksual dengan menjerat para pelakunya. Dukungan dari masyarakat dan sinergi dengan semua pihak, termasuk para aparat penegak hukum. Jadi, kita berkewajiban untuk melaporkan ketika mengalami ataupun melihat dan mendengar kasus pelecehan seksual.
Nah, apa sih tindakan yang seharusnya kita lakukan ketika mengalami atau melihat kasus pelecehan seksual?
- Berbicara secara terus terang
Dalam banyak kasus pelecehan seksual, terutama yang melibatkan lingkungan kerja, pelaku pelecehan seksual biasanya tidak menyadari bahwa perilaku mereka sangat toxic. Jika kita adalah korban pelecehan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan membiarkan pihak yang bersalah tahu bahwa kita menemukan perilaku mereka sebagai perilaku ofensif. Dalam banyak kasus ini dapat menyelesaikan masalah. Jika hal ini tidak menyelesaikan masalah, setidaknya pelaku tahu bahwa perilakunya sangat menganggu.
- Memberi tahu pelaku untuk berhenti
Kita dapat mencoba untuk memberitahu pelaku untuk berhenti, meskipun hal ini mungkin sulit. Kita bisa mengatakan dengan jelas bahwa ingin pelaku berhenti melakukan pelecehan seksual. Ini merupakan langkah penting jika kemudian memutuskan untuk mengambil tindakan yang lebih formal kepada pelaku. Jika pelaku mnegabaikan permintaan lisan untuk berhenti, atau jika sudah merasa tidak nyaman untuk bertatap muka dengan pelaku, tulislah surat singkat yang menyatakan bahwa perilaku mereka menyinggung. Jika Anda khawatir akan keselamatan pribadi atau takut bahwa pelaku akan berperilaku tambah parah, maka laporkan ke atasan, pihak sekolah dan pihak-pihak terkait yang bisa menolong permasalahan ini.
- Mencari kebijakan
Periksa buku pedoman karyawan, kebijakan tertulis, dan sebagainya yang mencantumkan kebijakan pelecehan seksual. Kemudian ikuti langkah-langkah yang tertera dalam kebijakan. Selanjutnya, laporkan kepada orang yang ditunjuk sebagai atasan, untuk menerima pengaduan pelecehan seksual. Jika mereka tidak memperbaikinya, atau jika orang yang ditunjuk adalah pelaku pelecehan, maka pergilah ke orang berikutnya yang ditunjuk. Cari orang yang berpengaruh terkait permasalahan ini.
- Menuliskannya
Kemukakan keluhan dengan menuliskannya. Deskripsikan secara detil mengenai komentar seksual, tindakan seksual, pornografi, lelucon atau email tidak pantas, dan apapun yang dialami atau disaksikan, yang memperlihatkan adanya perbedaan perlakuan dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Banyak pegawai yang melaporkan lingkungan yang tidak bersahabat, intimidasi atau pelecehan tanpa mengatakan bahwa hal itu didasari oleh gender. Dengan cara pelaporan seperti itu, kita memang tidak akan terlindungi dari pembalasan dendam. Jadi, cara yang terbaik adalah menuliskannya dengan detil.
- Mendokumentasikan perilaku pelecehan
Sangat penting untuk mendokumentasikan apa yang terjadi pada korban, dan apa yang kita lakukan untuk mencoba menghentikannya. Kita harus memiliki bukti yang cukup untuk dapat melaporkannya ke penyidik perusahaan, instansi pemerintah, atau pengadilan. Mulailah dengan mengumpulkan bukti sedetail mungkin mengenai pelecehan. Pastikan untuk menyimpan surat, foto, kartu, atau pesan melecehkan yang diterima.
- Memproses ke pengadilan
Jika lembaga pemerintah mengeluarkan surat hak untuk menuntut, kita dapat membawa gugatan perdata atas cedera yang diderita akibat pelecehan seksual. Kita tidak perlu menunjukkan luka fisik. Cedera yang paling umum dalam kasus pelecehan seksual adalah luka secara emosional yang diderita oleh korban.
Kasus pelecehan seksual, seringkali membuat para korbannya merasa tidak berdaya. Hal ini seringkali terjadi di tempat kerja dan ruang-ruang publik. Kebanyakan korban menyatakan bahwa ketika mengalami pelecehan seksual, mereka tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Nyatanya, sikap tersebut malah semakin memperparah dan memperbanyak korban. Belum lagi trauma mendalam yang dialami oleh para korban. Sudah banyak aksi-aksi yang dilakukan untuk pemberantasan pelecehan seksual dilakukan baik lewat lingkungan kerja, sekolah dan beberapa ranah public dengan harapan agar kejahatan ini bisa diminimalisir.
Teman-teman, tetap waspada dan selalu berhati-hati ya. Karena pelecehan seksual bisa terjadi dan menimpa pada siapa saja. Semoga ini menjadikan bahan pembelajaran bersama.
Dengarkan Podcast kita mengenai Friends with benefit
Referensi :
– Komisi Nasional Perempuan
– Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)