Take a fresh look at your lifestyle.

Fenomena Klitih di Jogja : Bagaimana Jika Pelaku Tindak Kriminal adalah Anak di Bawah Umur

3,570

Beberapa waktu ini sedang marak dibicarakan soal fenomena klitih yang terjadi di Jogjakarta. Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, semakin kesini, maknanya semakin bergeser menjadi sebuah aktivitas yang negative dan meresahkan. Sekarang, Klitih diidentikkan dengan kejahatan jalanan dan dianggap teror bagi masyarakat. Bahkan sekarang mulai mengusik ketenangan dan meresahkan karena memakan korban yang bahkan tidak tahu apa-apa. Beberapa waktu lalu, saat ramai tagar #DIYDaruratKlitih, seorang sopir ojol menjadi korbannya. Kejadian paling baru yang menimpa driver ojek online yakni di Kabupaten Kulon Progo yang menyebabkan driver ojol terluka akibat sabetan pedang pada Sabtu (1/2/2020). Banyaknya aksi kejahatan jalanan ini menjadi ancaman serius bagi sejumlah driver ojol yang sering mengambil orderan hingga malam hari.

Dalam bahasa Jawa, klitih bermakna suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja Yogya, pemaknaan klitih kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal anak di bawah umur yang terjadi di luar kelaziman. Dimulai dari keributan satu remaja beda sekolah dengan remaja yang lain, lalu berlanjut dengan melibatkan komunitasnya masing-masing. Aksi saling membalas pun terus terjadi, berulang, sengaja dipelihara turun temurun. Permasalahan klitih beragam dan yang mengerikannya lagi, korbannya juga sembarangan. Salah satunya dipicu oleh permusuhan antar geng. Beberapa kasus klitih yang jadi pembicaraan terjadi pada 2018 lalu, yaitu pembacokan yang dilakukan sekelompok orang di Jalan Kapten Pierre Tendean. Korban selamat, tetapi mendapatkan puluhan jahitan. Kedua, pembacokan di dekat Mirota Kampus UGM yang menewaskan korban bernama Dwi Ramadhani Herlangga, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kejadian tersebut terjadi sekitar saat jam sahur. Kejadian terakhir menjadi pembicaraan yang paling menghebohkan. Sebab, sebelum kejadian, korban baru saja membagikan sahur gratis kepada orang-orang sekitar. Setelah tertangkap, pelaku mengatakan ia mengira bahwa korban adalah seseorang yang dulu juga pernah melukainya. Klitih adalah ajang balas dendam yang membabi buta.

Hal ini tentu sangat meresahkan ya. Apalagi Jogja dikenal dengan kota pelajar dan wisata. Dikenal juga dengan kota damai dan berhati nyaman. Tagar #DIYDaruratKlitih naik seiring dengan tagar #JogjaBerhentiNyaman. Jika masalah ini dibiarkan, tentu akan sangat berpengaruh pada perkembangan potensi pariwisata Jogjakarta. Apalagi, suasana malam Jogja yang selalu melekat dalam ingatan dan seringkali menimbulkan kerinduan untuk selalu datang lagi ke kota ini. Jangan sampai klitih mengganggu romantisme kota Jogja :’(

Yang menjadi permasalahan serius, para pelaku klitih ini adalah anak-anak usia SMP hingga SMA. Dalam artian mereka masih di bawah umur. Di usia yang sangat muda sekali, mereka telah melakukan kejahatan dan tindak criminal yang sebenarnya sudah sangat tidak bisa ditoleransi. Penganiayaan sampai mengakibatkan cacat tubuh bahkan sampai pembunuhan. Hal ini sempat membuat geram masyarakat Jogja. Sehingga muncul ancaman jika kepolisian tidak bisa menangani kasus ini secara tuntas, masyarakat akan waspada dan selalu ronda untuk mengantisipasi para pelaku klitih. Jika ada salah satu pelaku klitih yang tertangkap masyarakat, maka akan langsung dihakimi massa di tempat. Hal tersebut tentu bukan tanpa alasan diungkapkan. Pasalnya, fenomena klitih ini terus muncul setiap tahunnya dan selalu meresahkan masyarakat.

Selama tahun 2019, Polda DIY menerima 40 laporan kejahatan jalanan yang dilakukan anak di bawah umur atau di bawah 20 tahun dengan pelaku sebanyak 87 orang. Dari jumlah itu separuhnya lebih adalah pelajar dan lainnya anak putus sekolah. Sedangkan Pada awal 2020, Polda DIY sudah menerima lima laporan yang rata-rata dipicu konsumsi minuman keras, psikotropika dan obat berbahaya serta terpengaruh lingkungan.

Hukum di Indonesia mengenal perlindungan terhadap anak dari penyiksaan dan hukuman yang bisa dinilai terlalu berat. Hal ini selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan, batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, menurut tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana. Jika yang dilakukan anak merupakan tindak pidana berat dan dapat diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Terkait ancaman pidana minimum, minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. Secara moral, ketentuan tersebut menjadi bahan yang juga kontroversial. Sebab, kasus kriminal para anak-anak yang dikategorikan klitih ada yang tergolong berat, seperti pembunuhan.

Pada dasarnya, meskipun para tersangka ini masih di bawah umur, namun proses hukum akan terus berjalan. Terkait kasus ini, tersangka dijerat dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan 354 KUHP dengan penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal. Didalam pasal tersebut, para pelaku terancam hukuman 15 tahun penjara. Adapun tersangka di bawah umur akan diproses sesuai dengan sistem peradilan anak berdasarkan Pasal 80 ayat 2 dan 3 UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Selain berjalannya proses hukum, seharusnya tanggung jawab tidak hanya terlepas sampai di sana saja. Dari beberapa pelaku klitih yang tertangkap, tentu masih ada yang berkeliaran dan nantinya menimbulkan banyak korban. Pembinaan dan pendekatan terhadap anak-anak usia SMP dan SMA tentu sangat dibutuhkan. Dengan mengisi keseharian mereka dengan kegiatan yang positif diharapkan mampu mengurangi kasus kenakalan jalanan di Jogja.

Semoga kasus ini segera teratasi dan menjadikan Jogja kota yang kembali ramah dan berhati nyaman ?

Bagi kalian yang tidak sempat membaca, kita dengerin yuk lewat podcast IDLC.ID yang ada di spotify

Referensi :
– UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
– UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

Leave A Reply

Your email address will not be published.