Take a fresh look at your lifestyle.

Hak Belum Beralih Tapi BPHTB Harus Lunas Dulu

548

Dari kacamata substansi BPHTB berdasarkan PP No. 35 Tahun 2023. Banyak notaris dan PPAT keberatan dan bereaksi keras terhadap aturan baru ini.

Ada tanggal 16 juni 2023 lalu, Pemerintah baru saja mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PP No 35/2023) yang salah satunya mencabut PP No 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dalam PP No. 35/2023 tersebut banyak terjadi perubahan tentang kewajiban pembayaran Pajak dan Retribusi Daerah, yang mana nantinya akan dituangkan ke dalam berbagai Peraturan Daerah (Perda) di masing-masing daerah.

Dalam artikel kali ini saya akan menyoroti secara khusus tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) karena berkaitan langsung dengan proses bisnis di kalangan masyarakat. Apalagi hal ini juga berkaitan dengan fungsi dan tugas jabatan Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pasal 18 ayat 2 PP No 35/2023, dijelaskan bahwa salah satu saat terhutangnya BPHTB adalah:

a. Pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pengikatan jual beli (PJB);

b. Pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam Perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan/atau hadiah.

c. Pada tanggal penerima waris atau kuasa dari penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris.

d. Pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim

e. Pada tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak Baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak.

f. Pada saat tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak yang bukan merupakan kelanjutan dari pemberian hak.

g. Pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.

Secara khusus, Penulis sebagai praktisi menyoroti poin-poin ini seringkali menjadi masalah dalam praktiknya karena berbagai alasan yang timbul, di antaranya:

  1. Jika BPHTB otomatis terhutang pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta PJB secara Notariil yang dilakukan secara bertahap, apakah BPHTB harus dibayar sejak tahap pertama atau ketika sudah dilunasi seluruhnya? Mengingat dalam pembuatan akta PJB dikenal adanya dua jenis akta PJB dari cara pembayarannya, di mana:
    • seluruh harga sudah dilunasi pada saat penandatanganan akta, namun karena satu dan lain hal maka tidak/belum bisa dibuat akta jual beli yang secara PPAT; atau
    • harga masih harus dibayarkan secara bertahap, dalam beberapa kali angsuran. Hal ini menjadi permasalahan di dalam praktiknya, karena ada kemungkinan terjadi pembatalan atau wanprestasi dalam proses transaksi.

Jika merujuk pada dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 117/2019 tentang Penyetoran BPHTB Atas Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (Pergub No 117/2019), pembayaran BPHTB dilakukan setelah semua persyaratan yang tercantum dalam PJB terpenuhi, objek properti sudah dibangun, dan pembayaran sejumlah lainnya juga sudah lunas. Jadi tidak ada ruang untuk meminta agar setiap tahap cicilan pembayaran seperti yang diatur dalam PP No. 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah dan Bangunan Beserta Perubahannya.

Padahal secara prinsip hukum tanah dan mengacu pada pasal 1 angka 27 tentang Definisi dari BPHTB itu sendiri yaitu: pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dengan demikian, pengenaan pajak BPHTB tersebut dikenakan ketika pemohon atau penerima hak sudah secara resmi menerima hak atas tanah dimaksud. Dalam esensi pembuatan akta PJB, peralihan hak (penerimaan hak atas tanah) baru resmi terjadi ketika sudah ditandatanganinya akta jual beli atas tanah dan bangunan dimaksud di hadapan PPAT yang berwenang.

  1. Pengenaan BPHTB pada saat penandatanganan akta hibah wasiat. Di sini perlu dipahami bahwa essensi dari sebuah Akta Hibah Wasiat, adalah tentang saat berlakunya, yang mana hibah wasiat tersebut baru berlaku efektif pada saat si pembuat wasiat meninggal dunia; bukan pada saat ditandatanganinya akta hibah wasiat. Karena masih ada kemungkinan pembuat wasiat melakukan perubahan terhadap wasiatnya selama berkali-kali sampai dengan pembuat wasiat tersebut meninggal dunia.
  2. Saat terjadi peleburan, pemekaran, dan penggabungan usaha. Hal ini sangat penting dan perlu menjadi perhatian dari para notaris dan para penasihat hukum yang yang melaksanakan corporate action terhadap suatu perseroan terbatas. Sehingga ketika dibuatnya akta Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan yang dilanjutkan atau tidak dilanjutkan dengan membuat akad transaksi peralihan hak, menjadi saat terhutangnya BPHTB dimaksud.
  3. Saat terhutangnya BPHTB yang disandarkan pada tanggal Surat Keputusan Pemberian Hak baik terkait dengan pelepasan hak maupun pemberian hak baru. Hal ini juga seringkali menjadi masalah dalam praktiknya. Hal ini dikarenakan sudah menjadi semacam lazim di dalam praktik bahwa Surat Keputusan Pemberian Hak Baru harus melalui proses pendaftaran dan seringkali diterima beberapa hari atau bahkan beberapa minggu setelah tanggal surat. Keadaan tersebut sering dikeluhkan bagi para praktisi dan pelaku usaha karena menimbulkan denda yang dihitung secara langsung dan dikenakan pada penerima haknya walaupun secara nyata dia belum menerima hak tersebut.

Baca Juga : Digitalisasi Sertifikat Tanah dengan Sertifikat Elektronik

Bunga yang Harus Ditanggung Wajib Pajak

Selain permasalahan terkait saat terhutangnya BPHTB, terdapat juga permasalahan terkait bunga yang dibebankan kepada wajib pajak selaku penerima hak atas tanah dan bangunan terkait dengan keterlambatan atau kekurangan pembayaran BPHTB terhutang.

Dalam pasal 78 ayat 4 PP No 35/2023 tersebut ditegaskan bahwa terkait dengan keterlambatan pembayaran atau kekurangan pembayaran BPHTB tersehut dikenakan cukup serius, yaitu sebesar 1% per bulan dari jumlah terhutang atau jumlah kekurangan bayar maksimal 24 bulan, jika sampai keterlambatan dalam pembayaran BPHTB dimaksud. Sedangkan dalam ayat 5-nya ditegaskan kembali bahwa tarif denda akibat kekurangan pembayaran karena kesalahan perhitungan, kesalahan tulis, atau kesalahan administratif wajib pajak, tarifnya adalah sebesar 0,6% per bulan dengan maksimal 24 bulan.

Denda Besar Mengintai Notaris atau PPAT

Selain denda yang dikenakan kepada yang dikenakan kepada wajib pajaknya, para praktisi notaris atau PPAT juga harus menyadari bahwa kewajiban menunjukkan bukti pembayaran BPHTB sebelum ditandatanganinya akta PJB, akta corporate action dan juga akta hibah wasiat dimaksud, maka notaris atau PPAT juga dikenakan denda yang cukup besar berdasarkan PP No. 35/2023 tersebut, yaitu : sebesar Rp10.000.000. Denda tersebut dibebankan jika notaris atau PPAT tidak meminta bukti pembayaran BPHTB sebelum klien menandatangani akta yang dimaksud.

Di samping kewajiban untuk meminta bukti pelunasan BPHTB sebelum ditandatanganinya akta, notaris atau PPAT juga diwajibkan untuk membuat laporan bulanan di samping berbagai macam laporan dibebankan kepada notaris atau PPAT. Denda yang dikenakan juga cukup sebesar yaitu Rp 1.000.000 jika notaris atau PPAT terlambat melaporkan transaksi bulanan adanya peralihan hak sebagaimana dimaksud di atas, jika melewati tanggal 10 setiap bulannya.

Mulai kapan aturan ini berlaku? Aturan ini berlaku sejak tanggal diundangkannya peraturan tersebut, atau paling lambat tanggal 4 Januari 2024 jika telah diadopsi oleh masing-masing daerah melalui Peraturan Daerah. Saya sudah melakukan konfirmasi ke instansi Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) setempat terkait dengan penerapan PP No. 35/2023 tersebut di dalam praktik. Namun, karena masih membutuhkan implementasi lebih lanjut dalam Peraturan Daerah, maka di dalam praktik saat tulisan ini dibuat, aturan tersebut masih belum diimplementasikan. Demikian pula denda-denda yang nanti akan dibebankan, masih belum ada di dalam aplikasi pajak daerah.

Baca Juga : Kebijakan Baru Yang Harus Dipahami Dalam Penagihan Pajak

Bagaimana sikap notaris dan PPAT terkait aturan ini? Tentunya banyak keberatan dan reaksi keras yang timbul dari pihak notaris dan PPAT. Mereka menganggap bahwa kewajiban pemungutan ini menjadi beban bagi mereka karena denda yang dibebankan sangat memberatkan. Selain itu, laporan yang diwajibkan juga semakin bertambah, seperti laporan mengenai Beneficial Owner, laporan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ), laporan bulanan kepada Majelis Pengawas Notaris, laporan kepada kantor pajak terkait pelaksanaan transaksi peralihan tanah, dan juga pelaporan terkait transaksi perubahan akibat RUPS merger, akuisisi, peleburan, pemekaran, serta hibah wasiat yang melibatkan berbagai instansi, termasuk kepala daerah.

Seharusnya aturan ini telah dikaji lebih lanjut sebelum diadopsi oleh masing-masing daerah, dan jika perlu, hal-hal yang tidak sesuai dapat diperjuangkan untuk dicabut atau diubah.

Dalam kesimpulannya, aturan baru terkait BPHTB yang diatur dalam PP No. 35/2023 menetapkan kewajiban bagi Notaris dan PPAT untuk membayar BPHTB sejak terjadinya peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, peraturan ini juga menimbulkan berbagai permasalahan baik terkait dengan saat terhutangnya BPHTB maupun denda yang dikenakan.

*)Irma Devita Purnamasari, SH, MKn, Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah/Penulis dan Anggota Tim Pakar Ikatan Notaris Indonesia.

Artikel ini dipublikasikan juga di hukumonline.com

Leave A Reply

Your email address will not be published.