Selain sepatu, tas merupakan salah satu perangkat fashion yang tergolong dalam “Must Have” items dalam WishList sebagian besar wanita yang perduli pada penampilan. Banyak sekali wanita yang terpaksa harus merogoh koceknya dalam2; dan bahkan sampai ada yang rela “puasa” untuk melakukan kesenangan2nya demi menabung untuk bisa mendapatkan tas idaman. Ada kepuasan tersendiri jika wanita tersebut bisa membeli tas yang menjadi idamannya.
Sebagai pelengkap wajib fashion tersebut, untuk kalangan menengah yang memiliki penghasilan terbatas, cukup puas dengan memiliki tiruan dari tas2 terkenal. Sehingga akhir-akhir ini sedang menjadi trend di kalangan para wanita untuk membeli barang-barang KW secara online di internet ataupun di bbm. Salah satunya Reni seorang karyawan swasta yang sangat menyukai fashion. “Lumayan mbak, bagus-bagus barangnya. Yang dijual temenku KW 1 buatan Hongkong. Kualitas masih dibawah KW super tapi itu juga udah semirip aslinya. Harganya juga enggak mahal kok. Tapi Mbak, denger-denger pembeli barang KW seperti saya juga bisa dijebloskan ke penjara, apa bener? Jadi serem nih….”
Istilah ‘KW’ menurut www.kamusgaul.com berasal dari kata kwalitas = kualitas yang konotasinya berarti ‘tiruan’. Awalnya populer di kalangan produk tas wanita (branded atau terkenal), oleh pedagang untuk memudahkan pengkategorian kualitas dengan masing-masing kisaran harganya seperti : kualitas (tiruan) super, kualitas 1 atau kualitas 2 dan seterusnya disingkat : KW super, KW-1, KW-2. Untuk KW super berarti yang terbaik mendekati , sedangkan KW-1 berada di peringkat bawahnya. Akhirnya meluas menjadi istilah untuk produk-produk lain dalam menyatakan kualitas tiruannya.
Adakah sanksi hukum bagi pembuat/pedagang barang palsu?
Menurut Ari Juliano, pengacara yang kerap menangani kasus Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) pada artikel JPNN.com, di dalam UU No. 15 tahun 2001 pasal 90 disebutkan, “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan yang sama pada keseluruhannya dengan terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”
Saat ini, aturan hukum di atas sangat rawan untuk menjerat para pembuat atau produsen tas palsu yang saat ini sangat marak di sejumlah mal dan pusat perbelanjaan di Jakarta. Diakui Ari, sampai saat ini memang belum ada pengguna tas palsu yang dipidana. Menurutnya, penjualan dan pembelian barang-barang ini terkesan dibiarkan oleh pemerintah sehingga penjual dan pembeli bisa bertransaksi secara bebas. Upaya pencegahan yang dilakukan oleh polisi dan Dirjen HAKI sejauh ini juga hanya sebatas shock therapy saja. Biasanya hanya pada momen-momen tertentu pihak yang berwenang melakukan razia. Ari menilai Penegak hukum tidak konsisten dalam menangani hal ini. Sementara itu, menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Neta S.Pane, kebanyakan warga Indonesia yang membeli tas-tas palsu branded terkenal tahu kalau tas-tas yang dibelinya palsu.
Diungkap Neta, di pusat-pusat perbelanjaan di kawasan Mangga Dua, Kota atau Proyek Senen bahkan pedagangnya berterus terang kalau tas yang dijualnya . Para pemegang hak cipta merek pun tidak memiliki perwakilan resmi di Indonesia sehingga agak menyulitkan untuk membuat laporan resmi ke polisi selain karena memang tidak tahu merek-mereknya dipalsukan.
Bagaimana dengan sanksi konsumen pembeli barang palsu?
Selain pembuat, pembeli produk KW juga dapat dikenai pasal 481 KUHP karena dianggap sengaja membeli barang yang diperoleh dari kejahatan. Menurut pasal 481 KUHP barangsiapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli barang yang diperoleh dari kejahatan diancam dengan pidana penjara. Menurut Ari, perbuatan disebut sebagai kebiasaan jika ada pengulangan, karena itu jika membeli lebih dari 2 tas yang mungkin baru bisa disebut kebiasaan.
Pasal 481 KUHP berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Sebaliknya, Lucky Setiawati, S.H di dalam hukumonline.com menyatakan mengacu pada asas hukum lex specialis derogat lex generalis (aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum), dengan telah diaturnya tindak pidana pemalsuan merek dalam UU Merek (lex specialis), Pasal 481 KUHP (lex generalis) tidak dapat diterapkan dalam perkara pemalsuan merek, termasuk dalam kasus pembelian tas “KW” oleh konsumen ini. Selain harus membuktikan adanya unsur kesengajaan konsumen dalam membeli dan menyimpan barang (palsu), penegak hukum juga harus membuktikan bahwa barang (palsu) tersebut ‘diperoleh dari kejahatan’. Ia berpendapat, unsur ‘diperoleh dari kejahatan’ dalam Pasal 481 KUHP tidak dapat diterapkan kepada tas-tas “KW”, yang dianggap diperoleh dari tindakan pemalsuan . Selain karena membutuhkan proses hukum tersendiri untuk menetapkan suatu barang merupakan barang palsu atau bukan, juga karena penafsiran menyangkut pemalsuan merek tidak dapat mengesampingkan sebagai lex specialis dalam perkara , yang telah secara tegas mengatur bahwa pemalsuan merek merupakan pelanggaran dan bukan kejahatan (Pasal 90 s.d. Pasal 94 ayat [2] UU Merek).
Pembaca budiman, silakan anda pilih, ingin tampil gaya dengan tas palsu bermerek terkenal atau lebih baik memilih tas asli bermerek buatan Indonesia? Seperti kata pepatah: “Life Is A Matter of Choice” 😉
Sumber:
www.JPNN.com
BACA JUGA ARTIKEL INI:
-Memahami arti etiket Merk
-Mendaftarkan Merk Dagang http://bit.ly/IeB8xU
-Lindungilah hasil karya anda sebelum diakui oleh orang lain http://bit.ly/gM1MXw
-Elemen2 Website yang dilindungi oleh Hak Cipta http://bit.ly/IFxYjz