Take a fresh look at your lifestyle.

Harga Property Melambung, BI Keluarkan Aturan Baru

1,734

RukanWendy dan Nia, pasangan suami istri yang sama-sama bekerja. Nia memiliki bisnis online pakaian mulai pakaian bayi sampai wanita dewasa. Awalnya Nia hanya iseng saja menjalankan bisnisnya, ternyata usahanya makin lama makin pesat. Ini berkat kepandaian Nia melihat pangsa pasar dan juga strategi marketing yang tepat. Melihat usaha istrinya yang makin maju, Wendy ingin mewujudkan mimpi Nia membeli ruko sebagai tempat usahanya. Pusing juga Wendy melihat rumah mereka makin lama makin sempit karena rumah juga berfungsi menjadi gudang untuk menyimpan barang-barang dagangan Nia.

Sudah lama Nia bermimpi untuk memiliki sebuah ruko sendiri sebagai tempat usahanya yang semakin berkembang. Sewaktu ada iklan pameran property, Wendy dan Nia langsung mengunjungi pameran rumah tersebut dengan antusias untuk mengecek Harga Property yang ditawarkan. Namun sewaktu melihat brosur-brosur yang ditawarkan di pameran, pasangan suami istri ini tercengang. “Wah, harga Ruko kok mahal banget ya sekarang, ayah?”, keluh Nia kecewa. “Lihat deh, masa Ruko di kompleks kita naiknya fantastis banget, 2 tahun lalu aku inget kok harganya sekitar Rp. 2 milyar, ini sekarang paling murah Rp. 6,5 milyar. Luasnya juga enggak seberapa. Kalau Down Paymentnya aja harus minimal 30% berarti kita harus punya uang tunai dulu minimal Rp.2Milyar”. Wendy mengerutkan kening sambil  membandingkan beberapa brosur di tangannya, menjawab keluhan istrinya,”Sabar dulu ya bunda, budgetnya mepet nih….”

“Sudah dua tahun ini aku rajin menyisihkan keuntungan daganganku demi mimpi untuk punya Ruko sendiri lho, yah. Kalau gini caranya, kita bisa-bisa harus mengubur mimpi untuk punya tempat usaha sendiri ….” Nia dengan nada putus asa melampiaskan kekecewaannya.

“Beruntung banget ya orang-orang yang beli tahun-tahun lalu.. masak dalam 1-2 tahun kenaikan Harga Property sudah mencapai 100% – 200% bahkan kadang lebih. Sayang bisnis kita tahun-tahun sebelumnya belum cukup untuk membeli ruko.” Nia masih penasaran

“Itu dia, melihat fenomena kenaikan harga property yang semakin gila-gilaan 2 tahun terakhir ini, ayah denger dari temen-temen, BI sudah keluarin Surat Edaran tentang pengetatan pengucuran Kredit Pemilikan Rumah. Kabarnya untuk menekan Harga Property yang sudah menembus harga yang sangat tidak masuk akal”.

“Emang harus gitu yah… tuh liat di stand-stand sebelah yang jual rumah. Masak Harga Property di Indonesia saat ini sudah melonjak 300% – 500% menjadi sekitar Rp. 6 milyar – Rp. 21 milyar.

“Betul bunda,bahkan kata temen-temen bisnis ayah, fenomena yang terjadi di lapangan adalah harga tanah di suatu kawasan juga sudah menembus ke angka Rp. 150 juta/M2.  Harga Property yang sangat “fantastis” ini diindikasikan karena ulah spekulan yang “menggoreng” harga properti di Indonesia seperti halnya menggoreng saham.

bubble-2“aahh.. apa sih ayah kok pakai istilah goreng menggoreng? Emangnya goreng keripik? He.he.he..” Nia menimpali suaminya sambil terkikik membayangkan sebuah rumah masuk ke dalam kuali yang besaaaar…. Penuh dengan minyak panas dan siap di goreng oleh puluhan spekulan.

“iya bunda, dalam bursa dikenal istilah “goreng menggoreng” saham… Jadi saham yang keliatannya jelek atau kurang menarik, sengaja diperdagangkan antar spekulan, supaya terlihat aktif dan laku banget, atau di “dandani” sedemikian rupa, sehingga terlihat “cantik” dan siap dijual. Padahal setelah banyak investor yang beli… ternyata itu Cuma fatamorgana di siang bolong. Eeehhh… tau-tahu keliatan deh belangnya. Saham itu anjlok drastic. Inilah yang membuat terjadinya fenomena “bubble”. Jadi ibaratkan seorang anak kecil main bola sabun yang semakin lama semakin besar. Trus pada suatu saat “balon” itu bisa “pecah”, sehingga rontoklah harga yang sudah di gelembungkan tersebut. Naaahhh… kalau nggak dijaga, bisa-bisa akan berakibat menjadi krisis properti seperti di Amerika Serikat. Jadi sekarang bahkan di Singapura juga mulai diperketat untuk memperoleh kredit property.” Wendy menjelaskan dengan sabar kepada isterinya.

Nia hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari suaminya tersebut.”berarti emang harus di ketatin tuuh pembelian property. Karena secara logika, sangat nggak masuk akal kok harga tanah dan rumah bisa meroket dalam sekejap. Jangan-jangan ulah “tukang gorengan” yang melakukan jual beli rumah antara mereka sendiri ya, ayah?” senyum Nia

“Ha.ha.ha… bisa aja kamu bilang “tukang gorengan”.

cook“tapi mungkin juga,… sebab kalau dilihat dari sejarah property yang ada selama ini, baru kali ini harga melonjak secara drastic. Karena banyaknya orang yang beli property untuk investasi dan spekulasi, dengan menggunakan others peoples’ money alias dana ngutang dari bank yang notabene adalah dana masyarakat yang ditabungkan ke bank tersebut. Jadi Bank Indonesia merasa jangan sampai dong dananya orang yang nabung di bank tersebut Cuma dibuat untuk spekulasi… makanya itulah alasannya dibuat aturan baru deh untuk membatasi Kredit Pemilikan Properti (KPP), KPR atau KPA..”

Artikel humas BI di www.bi.go.id menginformasikan Bank Indonesia secara resmi menerbitkan ketentuan untuk memperketat penyaluran Kredit Pemilikan Properti (KPP). Ketentuan tersebut diatur dalam Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 dan mulai berlaku efektif mulai 30 September 2013. Dengan terbitnya aturan baru itu, secara resmi BI mencabut SE sebelumnya No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 dan SE BI No.14/33/DPbS tanggal 27 November 2012.

Apa tujuan diterbitkannya Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013?

Peter Jacobs, Direktur Departemen Komunikasi BI, di www.bi.go.id menjelaskan pertumbuhan kredit properti yang tinggi mendorong kenaikan harga properti. Dikhawatirkan kenaikan harga yang terlalu tinggi akan menjadi pemicu instabilitas keuangan apabila terjadi gagal bayar. Data BI menunjukkan, kredit pemilikan rumah dan rumah susun tumbuh melampaui pertumbuhan kredit secara agreagat. Per Juli, pertumbuhan KPR tipe di atas 70 meter persegi (m2) tumbuh 25,5% sedangkan KPRS tumbuh 63,3%. Padahal, sejak 15 Juni 2012, BI telah membatasi loan to value (LTV) menjadi 70%. Dengan kata lain, bank hanya menyalurkan kredit sebesar 70% dari harga rumah. Berdasarkan survei BI, indeks harga properti residensial di pasar primer naik 12,1% (yoy) pada kuartal II 2013. Kenaikan tertinggi tercatat pada harga rumah dengan luas di bawah 36 m2 sebesar 16,7%. Peter menyebut, kenaikan harga yang tinggi dipicu oleh permintaan terhadap rumah yang tinggi, baik untuk rumah tinggal maupun investasi.

Bank Indonesia secara resmi menerbitkan ketentuan untuk memperketat penyaluran Kredit Pemilikan Properti (KPP). Terbitnya ketentuan ini ditujukan agar bank lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit properti. Di samping itu, ketentuan ini diharapkan bisa menekan aksi spekulasi di sektor properti.Ketentuan LTV/FTV juga bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah untuk memperoleh rumah layak huni serta meningkatkan aspek perlindungan konsumen di sektor properti. Ketentuan ini dikecualikan bagi kredit/pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah.

Apa aturan baru yang ada pada Surat Edaran BI tersebut?

Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMPtentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti Dan Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti Dan Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor menyempurnakan aturan Loan To Value (LTV) di perbankan konvensional dan Financing To Value (FTV) bagi perbankan syariah untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti.

hibah rumah-jpgAdapun aturan baru LTV/FTV yang ada pada Surat Edaran ini adalah sebagai berikut:

1)    KPR/KPA tipe di atas 70 m2 atau KPT Kredit pemilikan ke 1, DP minimal 30% kredit;  pemilikan ke 2, DP minimal 40%; kredit pemilikan ke 3 dan seterusnya DP minimal 50%.

2)    KPR/ KPA tipe 22-70 m2 kredit pemilikan ke 1, DP tidak diatur; kredit pemilikan ke 2, DP minimal 30%; kredit pemilikan ke 3 dan seterusnya, DP minimal 40%.

3)    KPR/ KPA tipe di bawah 21, Ruko, Rukan Kredit pemilikan ke 1, DP tidak diatur; kredit pemilikan ke 2, DP minimal 30%; kredit pemilikan ke 3 dan seterusnya, DP minimal 40%.

4)    KPR milik suami istri dihitung satu orang, kecuali ada perjanjian pisah harta.

5)    DP tidak boleh dibiayai oleh bank.

6)    Pembelian properti indent hanya diperbolehkan untuk fasilitas KPR pertama.

7)    Apabila fasilitas KPR sudah dilunasi, maka tidak diperhitungkan.

8)    Pinjaman modal kerja dengan jaminan properti tidak diperhitungkan.

9)    KPR Refinancing/ Multiguna dan Top Up diperhitungkan sama dengan pembelian.

 

“Jadi, intinya kalau baru pertama kali punya rumah, masih boleh tuh dikenakan DP sebesar 30% an.. Tapi begitu rumah ke 2 dan seterusnya dikenakan ketentuan DP minimal yang lebih besar. DP tersebut juga nggak boleh ngutang lagi sama bank.  Trus kalau mau beli rumah yang baru akan dibangun, Cuma boleh buat orang yang memang belum punya rumah…alias rumah yang pertama.” Kata Wendy menjelaskan lagi.

 

Apa pendapat pihak pengembang/pengamat properti tentang hal ini?

CEO Riscon Realty, Ari Tri Priyono, pada Okezone,com sebagai pihak pengembang menilai aturan tersebut berlebihan. Dia menyarankan, ada baiknya aturan tersebut diberlakukan untuk rumah ketiga, atau yangagreement-1 seharusnya diberikan perhatian lebih adalah penjualan apartemen. Aturan tersebut, menurutnya, memberatkan masyarakat. Apalagi konsumen yang banyak membeli hunian adalah menengah ke bawah dengan harga rumah di kisaran Rp200-500 juta.

Di Artikel hukumonline.com, pengamat Properti Panangian Simanungkalit menilai, aturan LTV/FTV yang disempurnakan oleh BI itu tidak dapat menahan laju pertumbuhan permintaan properti tahun 2013 sampai 2014.Terlebih lagi, lanjut Panangian, tiap tahun pertumbuhan kredit properti mencapai 22 persen. Hal ini terlihat dari jumlah angka Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit rumah toko, Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) sampai dengan Desember 2012 mencapai Rp255 triliun. Sedangkan sampai Juni 2013 telah mencapai Rp280 triliun. Beliau memperkirakan sampai Desember 2013 mencapai Rp310 triliun, dan masih tumbuh Rp55 triliun atau 22 persen.Dengan adanya angka itu, ia menilai bahwa kebijakan LTV yang awalnya dikeluarkan oleh BI pada 2012 tak berdampak pada bisnis proses properti hingga 2014 nanti. Terlebih lagi pada 2014 mendatang, sejumlah perkiraan ekonomi mulai dari inflasi, BI rate, hingga adanya pemilu mengakibatkan bisnis properti masih terus bertumbuh. Menurutnya, Pemilu akan mengalirkan uang cash Rp50 triliun ke masyarakat, jadi sangat kondusif untuk bisnis properti.Mengenai klausa yang menyatakan suami dan isteri merupakan satu debitur kecuali ada perjanjian pisah harta yang disahkan notaris, Panangian menilai, bukan persoalan yang serius. Menurutnya, suami dan isteri tersebut tetap bisa menggunakan fasilitas KPR dan KPA.Panangian mengatakan, dari aturan ini dan sebelumnya yang berubah hanyalah angka down payment. Sehingga tidak ada masalah dengan adanya aturan baru tersebut, karena bila suami dan isteri itu mau berinvestasi, tetap bisa menggunakan KPR atau KPA. Hanya DP-nya naik dari 30 persen menjadi 40 persen.

amin“Gimana tuh, ayah… kalau ternyata kebijakan tersebut nggak bisa menahan laju harga-harga property? Nanti biar sampai Rio anak kita besar, bisa tetap aja kita nggak mampu beli ruko?” kata Nia dengan sedikit cemas.

 “Ya,.. kita liat saja ke depannya dengan adanya aturan baru ini. Kalau menurut ayah pribadi, setidaknya ini bisa menahan laju spekulan yang punya prinsip others peoples’ money tadi bunda. Jadi,… kalau mau spekulasi ya mereka harus pakai uang sendiri doongg…. Kita berdoa saja ya bunda, semoga bunda dan ayah bisa dapat rejeki untuk DP beli ruko.“ kata Wendy sambil mengedipkan mata mesra kepada isterinya.

 “aamiinn….” Nia mengamini dengan hikmat perkataan suaminya tersebut. “Betul ayah,…semua pasti ada hikmahnya ya… ”

Referensi:

Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013

www.bi.go.id

www.okezone.com

www.hukumonline.com

 

 

 

 



 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.