Penyederhanaan Pengurusan Pensertifikatan Tanah
( Pembahasan : Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertnanahan Nasional No 1756/15.I/IV/2016)
Tanggal 14 April 2016 yang lalu, Ferry Mursyidan Baldan, Menteri Agraria dan Tata Ruang menerbitkan Surat Edaran No, 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat. Yang intinya menyampaikan edaran kepada seluruh Kantor Pertanahan untuk menyederhanakan proses pendaftaran tanah (pensertifikatan tanah).
Apa dasar pertimbangan diterbitkannya SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN No. 1756/15.I/IV/2016?
Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum atas hak tanah masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendaftaran tanah. Mengingat masih terdapat masyarakat yang menguasai tanah namun tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan tanah (alas hak) secara lengkap dan bahkan sama sekali tidak mempunyai bukti kepemilikan sehingga terkendala dalam permohonan pendaftaran hak atas tanahnya.
Kemudahan apa yang diberikan dalam percepatan pendaftaran tanah ini?
Penghapusan Persyaratan Surat Kepemilikan Tanah dari Kelurahan
Seperti yang diulas pada artikel bpn.go.id, salah satu syarat dalam mengurus sertifikat tanah ke Kementerian ATR/BPN adalah Surat Kepemilikan Tanah (SKT). SKT ini dikeluarkan oleh kelurahan setempat. Menurut Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan, nantinya persyaratan ini akan dihapus BPN karena seringkali kepengurusannya memakan waktu lama.
“Kita tidak akan biarkan pihak desa/kelurahan berlama-lama menahan (SKT). Surat keterangan apapun dari desa itu bukan sesuatu untuk menghambat,” ujar Ferry di Garut, Jawa Barat.Ia mengatakan, jika masyarakat tidak bisa mendapatkan SKT dalam di BPN, maka pemerintah akan proaktif dalam melakukan proses pengecekan.
Dengan demikian, masyarakat dan BPN tidak perlu menunggu terbitnya SKT dari kelurahan. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN ‘jemput bola’ ke masyarakat itu sendiri sehingga tidak ada hambatan.
“SKT itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. Kalau tidak ada, kita (pemerintah) proaktif. Pejabat kelurahan juga sering diangkatnya bukan daerah itu, bagaimana dia tahu riwayat tanah?” jelas Ferry.
Ia menambahkan, pejabat lurah yang diangkat dan bukan dari daerah tersebut, paling sering berlaku di perkotaan. Untuk itu, SKT di perkotaan seharusnya tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah.
Tentunya hal ini merupakan kabar baik bagi masyarakat yang status tanahnya belum bersertifikat. Selama ini masyarakat menganggap proses , butuh waktu bertahun-tahun dan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Seringkali pemilik tanah setelah menunggu beberapa waktu tidak ada program pemerintah untuk mensertifikatkan tanah secara massal melalui (Istilahnya PRONA- Red) di wilayah tersebut, lalu berinisiatif untuk mengajukan pendaftaran/pensertifikatan tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Inilah yang disebut sebgaia pensertifikatan tanah secara sporadik.
(baca:).
Misalnya dalam pendaftaran/pensertifikatan atas tanah bekas hak milik adat (dikenal sebagai “tanah girik”). Peralihan hak atas tanah girik biasanya dilakukan di hadapan Camat atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak dan selembar kwitansi saja. Sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusuri kepemilikannya. Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali.
Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk tanah bekas hak milik adat dan tanah garapan, salah satu persyaratannya adalah mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa atas tanah tersebut belum pernah disertifikatkan serta riwayat pemilikan tanah dimaksud yang dilampirkan dengan surat RIWAYAT TANAH. dan Pembuatan surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan sengketa dari RT/RW/LURAH. Dengan dihapuskannya persyaratan SKT maka proses pendaftaran tanah bisa menjadi lebih cepat.
Namun, harus dipahami juga oleh masyarakat bahwa tidak semua tanah-tanah yang belum bersertifikat tersebut berasal dari tanah bekas hak milik adat atau tanah girik. Karena salah satu bentuk surat yang mungkin dipegang oleh masyarakat merupakan tanah-tanah bekas hak Barat yang berasal sejak jaman Belanda, namun belum dikonversi pada saat ketentuan konversi tanah diberlakukan di tahun 1960. Tanah-tanah yang demikian biasanya masih berstatus tanah Eigendom, Eigendom verponding, tanah Opstal maupun tanah Erfpacht, yang tentunya proses pensertifikatannya akan berbeda dengan proses pensertifikatan tanah bekas hak milik adat tersebut.
(Baca : ).
Untuk mengetahui tanah-tanah yang demikian, bisa membaca lebih lanjut di sini:
Bagaimana prosedur pengajuan kepemilikan tanah masyarakat yang tidak lengkap/ sama sekali tidak mempunyai bukti kepemilikan?
- Dalam hal dasar penguasaan dan/atau bukti kepemilikan tanah masyarakat tidak lengkap atau sama sekali tidak mempunyai dasar penguasaan dan/atau bukti kepemilikan tanah agar dibuktikan dengan surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dengan itikad baik dari yang bersangkutan (tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dikuasai/ tidak dalam sengketa; tidak termasuk aset pemerintah atau pemerintah daerah; tidak termasuk kawasan hutan).
- Surat pernyataan tersebut dibuat dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik kekerabatan vertikal maupun horizontal yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik dan menguasai bidang tanah tersebut.
Apakah dengan kemudahan tersebut memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab membuat surat pernyataan palsu?
Surat pernyataan dibuat berdasarkan keterangan sebenar-benarnya dari pihak yang membuat pernyataan bertanggung jawab secara pidana dan perdata. Tentunya apabila dikemudian hari terbukti ada unsur ketidakbenaran dalam pernyataannya maka sertifikat dapat dibatalkan dan pelaku dapat diproses secara hukum.
Apakah Kantor Pertanahan/BPN mempunyai kewajiban untuk membuktikan siapa pemilik bidang tanah yg dimohonkan hak atas tanah/sertifikat?
Saya sependapat dengan rekan Notaris DR. MJ. Widijatmoko S.H, MH, SpN, Kantor Pertanahan (BPN) atau pejabat BPN adalah administrator pemerintahan di bidang pertanahan yg diberi kewenangan utk menerima & mencatat permohonan hak atas tanah/sertipikat & memberikan hak atas tanah/sertipikat kepada masyarakat berdasarkan permohonan & data-data surat/dokumen yg wajib dilengkapi berdasarkan peraturan yg berlaku. Dengan terbitnya SE Menteri ATR/BPN 14 april 2016 No. 1756/15.1/IV/2016 yang mengatur kelengkapan dokumen/surat utk permohonan hak atas tanah/sertipikat, bila masyarakat pemohon “tdk mempunyai data surat/dokumen” atau “tidak mempunyai data surat/dokumen yang lengkap” untuk pembuktian “penguasaan dan kepemilikan bidang tanah” dilakukan dengan “membuat surat pernyataan” sebagai yang terlampir dlm SE Menteri ATR/BPN tersebut sebagai “bukti sah” penguasaan dan kepemilikan bidang tanah yang dimohon hak atas tanah/sertipikatnya. Dengan demikian memang secara hukum Kantor Pertanahan/BPN atau pejabatnya “tidak perlu membuktikan” siapa pemilik bidang tanah yang bersangkutan, dengan asas yang dianut dalam sistem pendaftaran tanah di indonesia yang berasaskan “negatif yg bertendensi positif” maka status dan kedudukan hukum sertipikat adalah “alat bukti yang kuat” bukan mutlak.
Sebelumnya saya perlu sedikit memberikan ilustrasi mengenai : sistem pendaftaran tanah NEGATIF YANG BERTENDENSI POSITIF. Dengan adanya sistem pendaftaran tanah yang demikian, maka dalam hal ini negara tidak menjamin akan kebenaran data yang disajikan dalam Buku Tanah yang tersimpan di Kantor Pertanahan. Walaupun sudah dilakukan upaya untuk mencegah terjadinya tumpang tindih atau kesalahan dalam proses pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikatnya, namun NEGARA BISA SAJA SALAH. Jadi negara tidak menjamin bahwa data tanah yang disajikan adalah mutlak benar. Akibatnya, jika ada yang mengklaim suatu tanah yang sudah terdaftar, dapat dilakukan mekanisme tuntutan pembatalan sertifikat dan selanjutnya akan dibuat sertifikat baru berdasarkan bukti baru. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut sistem pendaftaran tanah POSITIF. Dimana negara tersebut menjamin jika ternyata data yang tersimpan dalam proses pembukuan tanah ternyata salah, maka negara akan mengganti kerugian si pemilik tanah atau pembeli tanah yang bersangkutan. Hebat kan? 🙂
Apakah tidak tertutup kemungkinan ada pihak ketiga yang dirugikan?
Rekan Widijatmoko juga mengulas bahwa tidak ditutup kemungkinan penerbitan hak atas tanah/sertipikat tersebut dilakukan penuntutan oleh pihak ketiga yang merasakan kerugian dengan kewajiban kepada pihak ketiga yang dirugikan tersebut “wajib/harus” membuktikan dalil gugatannya di pengadilan. Tetapi berdasarkan pasal 32 ayat 2 PP No 24/1997 “daluwarsa” penuntutan terhadap pemberian hak atas tanah/penerbitan sertipikat adalah 5 tahun “sejak tanggal diterbitkan sertipikat”. Istilah hukumnya: Rechtsverwerking. Namun kalau dicermati, di dalam praktik masih saja timbul berbagai gugatan atas bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar selama puluhan tahun. Dan sayangnya hal tersebut masih dilayani oleh Kantor Pertanahan.
Apakah Kantor Pertanahan/BPN & pejabatnya salah bila ternyata kemudian setelah terbit sertipikat ada pihak ketiga bisa membuktikan kesalahan/ketidakbenaran penerbitan sertipikat karena adanya gugatan ?
Kembali menurut rekan MJ. Widijatmoko, Kantor Pertanahan/BPN dan pejabatnya sebagai administrator yang bertugas menerima permohonan & pencatatan serta menerbitkan sertipikat “tentu saja tidak salah” bila semua prosedur & kelengkapan dokumen yg disyaratkan peraturan yg berlaku sudah terpenuhi sebagaimana yang diatur.
Terbitnya SE Menteri ATR/BPN 14 april 2016 No 1756/15.1/IV/2016 merupakan terobosan dan pemangkasan yang jitu untuk mempermudah pemberian sertipikat tanah saat ini dengan melaksanakan pasal 60 ayat 3 & pasal 61 ayat 1 PMNA No 3/1997. Dengan demikian Surat Edaran Menteri ATR/BPN 14 april 2016 No 1756 tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dalam pendaftaran tanah malah justru konsisten dan konsekuen tegas melaksanakan pasal 60 ayat 3 dan pasal 61 ayat 1 PMNA No. 3/1997.
Program pensertifikatan dalam waktu singkat cocok apabila dilakukan dalam proses PRONA ataupun LARASITA.
Baca :
Namun, jika metode pensertifikatan tanah secara sporadik dilakukan dalam waktu singkat dan kilat, di khawatirkan dalam upaya penyederhanaan tersebut berakibat pada munculnya berbagai permasalahan baru terutama maraknya sertifikat ganda atau pemalsuan kepemilikan tanah atas suatu bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar. Sebagai penutup, pada dasarnya saya pribadi berharap agar seluruh birokrasi panjang dan bertingkat-tingkat serta membutuhkan waktu yang relatif lama dengan biaya yang tinggi dalam penerbitan sertifikat atas bidang tanah dapat disederhanakan. Semoga realisasinya di lapangan bisa berjalan sesuai dengan juklak yang sudah ditetapkan oleh pusat. Mari kita berharap ke depannya semua proses menjadi mudah, murah, cepat dan bebas dari berbagai pertanahan.
Referensi:
- Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertnanahan Nasional No 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat
- Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
- Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria – Ketentuan Konversi
- Peraturan Menteri Negara Agraria 3 Tahun 1997 tentang Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
- Blog MJ. Widijatmoko S.H
Situs Referensi
www.properti.kompas.com
www.bpn.go.id
BACA JUGA YANG INI YA :