(Pembahasan UU No. 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK)
“Huh… ini pasti gara-gara himbauan dari pasangan calon no xxxxx… Kabarnya dia menghimpun para kyai dan ulama di areal xxxx untuk menolak semua pelayanan tahlil, merawat jenazah, dan memimpin shalat di masjid untuk warganya setempat kalau masyarakat di sekitarnya tidak melakukan pernyataan taubat karena sudah memilih pemimpin kafir di pilkada DKI lalu lhooo…”, Bu Sugeng (bukan nama sebenarnya) mengerutkan kening merasa sangat jengkel membaca berita yang masuk di ponsel pintar miliknya.
“Eh.. baru juga itu.. sttttt….. jeng,… kabarnya lagi ulama terkenal yang biasa di TV itu juga mencuit berita banjir di twitter yang menghujat ke pasangan calon no xxxxxx juga lho. Padahal dia kan kyai ya.. saya kecewa ternyata dia cuma sedangkal itu pemikirannya,” Bu Bowo (bukan nama sebenarnya) menimpali dengan semangat.
“Masak sih jeng?”, tambah Bu Gito dengan wajah terkejut tapi mata berbinar-binar karena mendapatkan info yang menurutnya “berharga”.
“Iya beneerr… nih kalau nggak percaya gue share ya link dari www.penyebarhoax.com pilkada paslon No xxxx….”, Bu Sugeng langsung dengan semangat memforward berita yang diterimanya ke beberapa group yang dia ikuti. “Bagusnya saya tambahin saja bahwa nasi bungkus yang dibagi oleh partai pendukung paslon No xxxx pada korban banjir DKI ini juga sudah basi sehingga warga sakit perut.”
“Ebusyeettt,… beneran ternyata… gue sebarin lagi deh di group lainnya aahhh… “, bu Gito langsung bersemangat memforward lagi berita tersebut ke groupnya yang lain.
Dalam 10 menit setelah berita bohong di rilis, dalam waktu sekejap sudah di share ratusan ribu kali, yang artinya bisa dibaca jutaan pembaca.
Tidak lama kemudian… “jeng.jeenggg…. ternyata berita itu hoax lho!”, kata bu Bowo dengan perasaan sedikit tidak enak menghampiri ketiganya yang sedang asyik menshare berita-berita tersebut.
“yah…. Sudah terlanjur menyebar kemana-mana tuh.. biar aja deh. Nanti juga ada konferensi persnya sebagai hak jawab yang bersangkutan.” , pungkas bu Sugeng dengan santai.
Pilkada serentak terutama Pilkada DKI yang harus melalui dua putaran menyebabkan maraknya berbagai berita miring berseliweran dari para pendukung paslon masing-masing maupun buzzer-buzzer professional yang khusus dibayar untuk menciptakan image dan mendongkrak popularitas paslon masing-masing. Isinya berkembang menjadi saling hujat dan saling menyebarkan fitnah serta berbagai berita yang belum jelas kebenaran dan sumbernya.
Di era teknologi internet saat ini memang menjadi mudah bagi masyarakat untuk mengakses dan menyebarkan informasi melalui media sosial. Beragam media sosial seperti whattsap, facebook, path, twitter, dll menjadi pilihan populer bagi masyarakat dari yang kalangan muda hingga lanjut usia untuk mengakses dan menyebarkan berbagai berita. Semua tidak mau ketinggalan dalam menggunakan media sosial yang sedang tren, posting informasi yang didapat dari satu grup di whattsap misalnya dengan mudah dapat dengan cepat diposting ke grup lain, tanpa mempertimbangkan dengan bijak apakah postingan tersebut mengandung unsur yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian. Semua berlomba-lomba agar bisa memberikan kabar paling dulu atau paling update dari info yang diterima. Namun demikian…. Awasss!! Saat ini tak hanya pembuat konten yang bisa dijerat pasal ini, tetapi juga orang yang mendistribusikan (share) dan membuat sebuah informasi dapat diakses.
“Sumpeh lu? Nyebarin berita doang bisa dipidana?” Budi yang baru mendengar penjelasan Andi tertegun dengan wajah heran.
“Lha ya iya dong…. Hal ini diatur jelas lho di Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Aturan mana sudah mulai berlaku sejak tanggal 28 November 2016 lalu. Sudaaahh.. Kalian berhentilah menyebarkan berita kebencian, berita fitnah maupun SARA. Bisa-bisa kalian terjerat UU ITE lho.” Jawab Andi dengan tenang.
“Duuhh.. jelasin dong gimana sih sebenarnya isi undang-undang ITE itu?”, Budi masih penasaran.
“Jadi begini nih…..”
Apa alasan pemerintah melakukan revisi UU ITE?
Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan dalam tekno.liputan6.com, pemerintah merevisi UU ITE karena Indonesia sedang berusaha mengelola internet di Indonesia. Ia menilai, saat ini tengah terjadi transformasi digital. Karena itu, pergerakan internet di Indonesia sangat cepat. Semuel mengatakan, revisi UU ITE sebenarnya sudah dilakukan sejak 2012, namun baru terlaksana pada 2016. Ia menegaskan, revisi UU ITE diharapkan bisa memberikan arah mengenai pembangunan internet di Indonesia.Maka itu, dalam prosesnya pemerintah berdiskusi dan mendengarkan masukan serta perspektif dari pemangku kepentingan dan masyarakat. Menurutnya manfaat TIK harus melindungi kepentingan nasional, jangan sampai kepentingan nasional malah dikorbankan. Revisi UU ITE berusaha membuat internet menjadi bermanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, dengan revisi ini pemerintah berupaya memastikan kehadiran TIK bakal memperkuat integritas sosial dan mencerdaskan masyarakat, serta memajukan ekonomi digital berbasis kreativitas.Tak hanya itu, ia menjelaskan internet pada mulanya hadir dengan tujuan positif, yakni membangun layanan internet berintegritas. Karena itu, untuk menjamin keamanan dalam berinternet diperlukan payung hukum. Itulah awalnya mengapa UU ITE dibentuk yaitu mengatur tata penggunaan internet agar tidak chaos.Oleh karena itu, pemerintah merevisi UU ITE dengan tujuan membentuk dunia siber yang bermanfaat dan mampu meningkatkan peradaban.
Apa saja perubahan yang ada di dalam Revisi UU ITE tersebut?
Beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:
- Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
- Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik“. Artinya, tak hanya pembuat konten yang bisa dijerat pasal ini, tetapi juga orang yang mendistribusikan (share) dan membuat sebuah informasi dapat diakses.
- Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum. Karena itu, orang tak bisa langsung ditahan saat dianggap mencemarkan nama baik seseorang, tetapi harus diadukan terlebih dahulu
- Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
- Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
- Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
- Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
- Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
- Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
- Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
- Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
- Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
- Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
- Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
- Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
- Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
- Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
- Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
- Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
- Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
- Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
- Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
“Waduh… ngeri juga ya kalau kita awalnya sebenarnya niatnya mau iseng—iseng forward-forward pesan tapi kemudian berujung kepada pidana.”, kata Budi sambil begidik ngeri.
“Nah iya… jangan sembarang meneruskan konten yang tidak jelas sumber dan tidak terbukti kebenarannya. Iya kalau benar… kalau salah gimana? Dalam Islam jatuhnya itu fitnah lho. Kita harus tabayyun dalam menerima dan menyaring seluruh info yang masuk ke kita.”, Andi menasehati dengan sabar.
“Oke broo kalau begitu, terima kasih ya di ingatkan”pungkas Budi seraya menepuk pundak Andi.
(Bersambung ke : “Kontroversi Revisi UU ITE”)
Referensihukum:
UU No 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Referensi online:
www.tekno.liputan6.com
bbc.com
hukumonline.com