Agus dan Rita telah melangsungkan pernikahan selama 10 tahun. Pada awalnya mereka hidup bahagia dan dikaruniai 2 orang anak. Penghasilan keluarga berkembang dengan baik, dan keluarga kecil tersebut hidup dalam kondisi serba berkecukupan. Dalam perjalanan perkawinannya, sempat Rita berinvestasi saham sebesar 50 juta untuk mendirikan usaha jual beli furniture. Namun sangat disayangkan, setelah usaha Rita berjalan lancar selama lima tahun, Agus terjerat pada wanita lain yang menjadi teman sekerjanya di kantor. Pertengkaran yang tidak kunjung usai berakhir pada keputusan keduanya untuk bercerai dan tidak bisa lagi untuk berdamai kembali. Setelah hakim pengadilan agama memutuskan perkawinan mereka, sekarang mereka harus menetapkan mengenai pembagian harta gono gini selama perkawinan berlangsung. Apakah Agus juga berhak atas pembagian dari perkembangan usaha furniture yang mereka dirikan bersama-sama?
Sebelum kita membahas masalah Agus dan Rita mengenai pembagian harta gono gini mereka dalam perkawinan, saya akan singgung sedikit mengenai perjanjian kawin. Kenapa harus dibuat perjanjian kawin? Karena dalam perjanjian kawin tidak hanya membahas mengenai ada atau tidaknya harta gono gini antara suami dan istri ketika nanti keduanya bercerai, namun juga terkait pada pemilikan asset, hutang sampai dengan pewarisan harta dari masing-masing suami/isteri tersebut pada saat kelak mereka meninggla dunia. Selain pemisahan ataupun pembagian harta antara suami dan istri, dalam perjanjian kawin juga bisa ditambahkan klausul tentang larangan melakukan KDRT.
Sebenarnya, perjanjian kawin bukan hanya dibuat ketika menikah dengan pasangan WNA, tapi jika memang diperlukan, perjanjian kawin juga bisa dibuat untuk pasangan WNI. Kebanyakan perjanjian kawin dibuat untuk memberikan kejelasan jika suatu saat nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya perceraian.
Jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian kawin yang intinya memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri ( Agus dan Rita) tersebut, maka ketika perceraian terjadi, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta gono gini di antara mereka. Dengan demikian, dalam kasus tersebut, sang suami –Agus– tidak berhak terhadap kepemilikan asset maupun hasil pengembangan dari usaha yang dijalankan oleh Rita tersebut, juga terhadap harta lainnya yang menjadi milik Rita, begitu juga sebaliknya. Hal ini termasuk segala hutang piutang yang ditanggung oleh masing-masing dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Namun, apabila di antara suami istri tersebut tidak pernah dibuat Perjanjian Kawin, maka berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka terhitung sejak perkawinan terjadi, demi hukum terjadilah percampuran harta di antara keduanya. Akibatnya harta istri menjadi harta suami, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai harta bersama. Terhadap harta bersama, jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari usaha maupun upaya yang dilakukan oleh pasangan suami/istri tersebut selama mereka masih terikat dalam perkawinan.
Sedikit berbeda dengan pengaturan sebelum berlakunya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan, ditetapkan pemisahan antara harta bersama dengan harta bawaan. Dalam KUHPerdata, semua harta suami dan istri menjadi harta bersama; sedangkan dalam UU Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masig sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Oleh karena itu, jika investasi (harta) tersebut diperoleh dalam perkawinan, maka menjadi harta bersama yang harus dibagi antara suami dan istri dalam hal terjadi perceraian (Pasal 37 UU Perkawinan).
Putusan Perceraian tidak secara otomatis membagi harta bersama
Hal yang penting di ingat oleh pasangan, maupun oleh masyarakat adalah: putusnya perkawinan dengan adanya putusan perceraian tidak secara otomatis mengatur mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan. Sehingga, dalam hal perkawinan putus karena perceraian, sedangkan pasangan tersebut tidak pernah membuat perjanjian pisah harta, maka harus dibuatkan putusan terpisah mengenai pembagian harta gono gini yang mereka miliki. Jika tidak ada putusan/penetapan mengenai pembagian harta gono gini tersebut, maka setiap perbuatan hukum terhadap asset yang terdaftar atas nama salah satu pihak, baik itu atas nama suami/isteri, maka harus mendapatkan persetujuan dari bekas suami/isterinya. Perbuatan hukum dimaksud tidak hanya perbuatan hukum menjual saja, melainkan termasuk menjaminkan dan bahkan menyewakan asset tersebut kepada pihak lain.
Bagaimana jika perkawinan terlanjur putus tapi belum ada penetapan Pengadilan tentang Harta bersama?
Dalam hal terjadi demikian, maka pasangan yang sudah bercerai atau akan bercerai tersebut bisa membuat akta Kesepakatan bersama mengenai pembagian harta gono gini mereka di hadapan Notaris. Notaris akan menguraikan semua asset yang mereka miliki, dan kesepakatan antara pasangan tersebut terhadap asset perkawinan mereka. Dalam hal misalnya (mantan) suami menyerahkan sebidang tanah kepada (mantan) isterinya, maka di dalam akta Kesepakatan Bersama tersebut harus pula meliputi segala kuasa yang dibutuhkan untuk memproses baliknama sertifikat, melepaskan hak atas tanah dimaksud, termasuk juga kuasa untuk menjaminkan, membebani dengan Hak Tanggungan, dan lain sebagainya hingga tanah tersebut dapat sepenuhnya dikuasai oleh yang bersangkutan.
Apakah Hak Asuh Anak juga bisa disepakati dalam Akta Notaris?
Pada prinsipnya, dalam ketentuan hukum perdata, selama anak dari pasangan tersebut masih di bawah umur dan tidak dapat dibuktikan bahwa sang ibu lalai dalam menjalankan tugaskan sebagai ibu, maka anak yang masih di bawah umur hak asuhnya diserahkan kepada ibunya, kecuali dibuktikan sebaliknya.
Namun dapat juga jika perceraian dilakukan dengan damai dan tanpa ribut-ribut, pasangan yang hendak bercerai sekaligus membuat kesepakatan mengenai pengasuhan dan penyerahan hak asuh terhadap anak yang lahir dari perkawinan mereka kepada salah satu pasangan. Kesepakatan tersebut dapat dituangkan dalam akta kesepakatan bersama dan diajukan sekalian dalam penetapan pengadilan saat putusnya perkawinan.
Demikian, semoga artikel ini bermanfaat dan bisa membantu permasalahan yang terjadi pada pembaca. Terima kasih 🙂
Dasar Hukum:
BACA JUGA YANG INI YA:
- Hak Asuh Anak Pada Perceraian Untuk Perkawinan Campuran
- Kewarganegaraan, Pemilikan Tanah dan Warisan Pada Perkawinan Campuran
- Perjanjian Kawin, Perlukah dibuat?
- Siapakah yang berhak mewaris?