Notaris harus mengacu Permen PUPR Terbaru dalam Pembuatan Akta Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah atau Rumah Susun, serta Regulasi Baru bagi Para Pembeli Rumah
Bisnis properti merupakan hal yang selalu menjanjikan. Hal ini dikarenakan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka semakin meningkat pula kebutuhan properti yang harus disiapkan. Akan tetapi, seringkali dibutuhkan aturan yang lebih jelas dan tegas untuk mengikatnya. Aturan ini tentunya ditujukan untuk pengembang properti dan juga pembeli, karena seringkali ada banyak hkasus serta sengketa yang terjadi antara keduanya.
Baru-baru ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia, mengeluarkan tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Permen ini ditandatangani Menteri PUPR, M. Basuki Hadimuljono, pada 12 Juli 2019. Permen ini, di dalamnya mengatur tentang penjualan rumah atau rumah susun oleh pengembang kepada masyarakat.
Beberapa prinsip perlindungan bagi konsumen pembeli rumah diatur di dalam aturan ini. Ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat selaku pembeli rumah atau rumah susun.Di antaranya adalah adanya kewajiban Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPBJ) dibuat dalam bentuk akta notaris. PPJB merupakan perjanjian pendahuluan sebelum pembelian rumah dinyatakan lunas dan dibuat akta jual beli.
Perjanjian jual beli yang dibuat dalam bentuk akta serta memiliki nilai pembuktian yang sempurna, apabila ada pihak yang cedera janji, tidak dapat lagi mengelak dari kewajiban yang sudah ditentukan. Ini juga untuk menghindari PPJB yang hanya memuat klausula baku yang biasanya menguntungkan penjual, karena posisi pembeli yang tidak bebas.
Sebelum peraturan ini diterbitkan, banyak pengembang perumahan yang hanya membuatkan perjanjian pengikatan jual beli di bawah tangan, tidak dalam bentuk akta notaris. Ketentuan di dalamnya juga tidak menjamin perlindungan hak-hak pembeli.
Apakah Anda pernah mendengar atau menemukan langsung kasus-kasus soal para pengembang nakal yang tidak sesuai dengan janjinya? Hal tersebut sering menimbulkan kasus pembeli yang dirugikan dan tidak mendapatkan uangnya kembali, apabila pengembang tidak bisa membangun rumah yang dijanjika atau membangun dalam waktu yang lebih lama dari perjanjian awal. Padahal pembeli sudah mencicil atau membayar lunas. Akibatnya, banyak kasus wanprestasi penjualan rumah yang berujung ke laporan penipuan atau penggelapan di kepolisian.
Dalam Permen ini, sebelum membuat PPJB, pengembang perumahan diwajibkan telah membangun minimal 20% dari total keseluruhan pembangunan perumahan dan fasilitas umumnya yang telah direncanakan. Juga segala macam perizinan harus telah dipenuhi oleh pengembang sebelum melakukan penjualan ke konsumen. Ini merupakan solusi bagi masyarakat yang ingin membeli perumahan, namun takut jika pengembang tidak bisa dipercaya, serta janji pembangunan tidak sesuai dengan maket yang telah direncanakan. Di mana umumnya selama ini fasilitas umum baru dibangun setelah semua rumah telah memiliki pembeli atau pemilik.
Adanya aturan ini sebenarnya dapat menghapus pandangan buruk yang selama ini melekat pada para pengembang properti. Pembeli bisa sangat percaya bila pengembang dapat menerapkannya.Pengembang juga wajib mengembalikan seluruh dana yang sudah dibayarkan jika konsumen menghendaki, apabila dalam waktu yang sudah disepakati rumah belum selesai dibangun. Karena selama ini yang terjadi, realisasi selesainya bangunan selalu mundur dari perencanaan. Bahkan kadang ada saja hal-hal yang terlewat dan terkesan terburu-buru, sehingga bangunannya tidak optimal dan mudah rusak. Sementara jika konsumen yang cedera janji tidak memenuhi kewajiban pembayaran, seperti pembatalan pembelian, maka pengembang berhak memotong 10 persen dana yang dibayarkan konsumen jika pembeli sudah membayar lebih dari 10 persen. Sedangkan jika pembeli baru membayar 10 persen atau kurang, maka semua dana yang dibayar tersebut menjadi hak penjual.
Berlakunya Permen ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi notaris, pejabat yang berwenang untuk membuat akta perjanjian pengikatan jual beli. Dalam lampiran Permen yang berupa petunjuk materi muatan PPJB, sudah dirincikan pokok-pokok perjanjian yang harus dituangkan dalam akta PPJB. Ini yang harus diperhatikan oleh notaris, sebab jika isi akta PPJB nya berbeda dengan ketentuan Permen ini, maka akta tersebut batal demi hukum.
Baca juga; Kuasa Menjual Rumah , Jual Beli dan Balik Nama Sertifikat
Notaris dalam kewajibannya harus benar-benar menerapkan prinsip dalam pembuatan akta. Para pihak harus diterangkan secara jelas terlebih dahulu ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam akta sebelum ditandatangani, sehingga tidak ada lagi pembeli yang merasa terpaksa ketika melakukan penandatangan akta PPJB.
Berlakunya Permen ini juga sekaligus mencabut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, dan tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.
Dengan adanya peraturan ini, seiring dengan berjalannya waktu tentu akan banyak kajian dan pengembangan peraturan yang akan terus ditinjau. Pasalnya, sejak keluarnya peraturan ini, tentu banyak menuai kritik dari para pengembang properti. Menurut mereka, aturan ini hanya menguntungkan bagi para pembeli dan sedikit banyak sangat merugikan bagi mereka. Beberapa pasalnya dianggap memberatkan masa depan bisnis properti.
Selain soal pasal pembatalan dan pengembalian dana, para pengembang juga mengeluhkan soal pasal 10, bahwa perusahaan baru bisa melakukan pemasaran dan proses PPJB setelah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sebelum IMB dari bangunan itu terbit, pengembang dilarang melakukan pemasaran dan proses PPJB. Sedangkan pada kenyataanya, mengurus IMB sendiri harus melalui banyak tahapan dan bisa memakan waktu yang cukup lama. Apalagi bukan untuk rumah tinggal. Pengurusan IMB untuk Rusun yang sedang banyak dikitisi, dikarenakan untuk memperolehnya sendiri membutuhkan waktu beberapa tahun.
Sebelum aturan ini terbit, pengembang bisa langsung melakukan pemasaran setelah izin pendahuluan terbit. Lagipula, jual beli properti baru dikatakan sah ketika sudah sampai pada proses pemberian Akta Jual Beli (AJB). Dalam hal ini, dipasarkan bukan berarti terjadi jual beli, tapi yang harus diingat, dalam bisnis real estate, jual beli baru sah terjadi saat AJB.
Referensi:
1.
2.