Pembicaraan yang sedang hangat dan selalu menjadi topik utama yang selalu dibahas sejak tahun 2017 lalu, sempat menguat lagi di awal masa kepemimpinan Presiden Jokowi periode kedua ini adalah pemindahan ibu kota. Dan ini sedang jadi pembahasan yang selalu rame, baik di medsos maupun dunia nyata.
Bagi sebagian besar warga Jakarta, pembicaraan ini menjadi sebentuk guyonan, “Beneran nih, habis ini kita menjadi warga daerah? Bukan lagi orang ibu kota”.
Hal ini tentu menjadi perbincangan yang menarik. Bersama Ahli Hukum Tata Negara, Dr. A. Irmanputra Sidin, SH, MH, kita akan membahas terkait wacana pemindahan ibu kota.
Nah, sebenarnya kenapa harus pindah? Apa karena Jakarta banjir, trus kenapa kok dipindahnya ke Kalimantan? Bukannya di sana juga seringkali ada kebakaran hutan yang mengakibatkan bencana asap? Apa sih urgentnya hingga ibu kota harus pindah ke Kalimantan?
Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul di setiap pembicaraan. Jadi, seperti apa sih jawabannya?
Menurut Irmanputra Sidin, dari sekian banyak pertanyaan itu, yang bisa menjawabnya hanyalah pemerintah. Begitu banyak spekulasi hanya menambah wacana semakin membola salju. Jika kita bicara karena Jakarta sering banjir, sebetulnya Kalimantan lebih bersiko, khususnya kebakaran hutan. Jika dengan memindahkan ibu kota hanya karena masalah banjir, tentu itu bukan sebuah alasan yang tepat. Bukannya malah lebih mengganggu ketika kita pindah ke daerah rawan kebakaran hutan?
Ibu kota memang bisa dipindahkan, tapi tentu saja akan ada banyak hal yang butuh dipikirkan dan dipersiapkan. Iman menyebutnya ribet. Bukan karena masalah uang dan ribet teknisnya. Tapi filosofi konstitusionalnya yang tidak segampang dan sesimple membalikan telapak tangan. Hal ini sama dengan ketika ada orang bertanya, bisa tidak negara kesatuan ini diubah? Bisa tidak Pancasila diubah? Secara teknokratik kalau disetujui tentu bisa berubah, tapi tidak semudah itu. Ada proses Panjang yang harus dilalui.
Baca juga: Jakarta dan Sejarah Pemindahan Ibu Kota Di Masa Lampau
Proses pembentukan dan penetapan wilayah menjadi ibu kota tentu memuat filosofi, sejarah, spirit, dan ruh dari konstitusi bernegara yang tidak mudah diubah dan dipindah begitu saja oleh negara itu sendiri. Meski hal tersebut didukung oleh seluruh rakyat. Jika bicara soal ibu kota, apakah ia merupakan bagian dari proses fundamentalis, seperti negara kesatuan, Pancasila dan lain sebagainya? Hal itu tentu memiliki perjalanan panjang.
“Tapi kalau saya mengamati, saya mulai berpikir, jangan-jangan ini ibu kota dipindah karena menjadi ruang panas dalam setiap pertaruhan politik menjelang pemilu presiden. Jangan sampai alasannya seperti itu. Karena presiden sekarang bekas gubernur. Jangan-jangan, gubernur DKI sekarang nantinya yang disebut sebagai calon presiden”, seloroh Irmanputra.
Jakarta sendiri sebenarnya merupakan kota yang banyak pembenahan, dan hal tersebut bukan hanya tanggung jawab gubernur semata. Iman menambahkan, supaya gubernur dalam pemilihan tidak panas dalam ranah pemilihan, seharusnya tidak ada pilkada. Yang memimpin, adalah menteri daerah khusus ibu kota. Langsung bertanggungjawab pada pesiden mengurus ibu kota. Ide itu sudah ada sejak zaman dulu. Jadi jabatannya setara menteri. Kedepan, Jakarta, atau ibu kota apapun itu, tidak perlu gubernur, pejabatnya, presiden yang menunjuk. Karena ibu kota tempat berkedudukan lembaga negara menjalankan aktivitasnya sehingga sebenarnya lebih layak kalau tidak dipimpin gubernur.
Ibu kota sendiri memiliki makna tempat seluruh rakyat berkumpul untuk menentukan nasib bangsa. Maka disebut dalam undang undang dasar bahwa MPR, bersidang di ibu kota negara. Itu maknanya adalah ibukota tempat kembalinya seluruh anak bangsa untuk mengambil keputusan ke ibunya untuk menentukan nasib bangsa ini. Ia merupakan tempat dimana rakyat mengawasi segala penggunaan uang yang digunakan oleh seluruh lembaga di negara ini. Dalam UUD disebut badan PK, berkedudukan di ibu kota negara. Dua saja yang disebutkan dalam UUD. Jadi sebaiknya ibu kota adalah rumah seluruh rakyat. Setidaknya, mampu mewakili bentuk rumah untuk semua rakyatnya pulang dan mengadu.
Menurut Irmanputra, menentukan pindahnya ibukota ini tidak bisa dengan santai mengucap, “Ayok kita pindahin kesana! Seperti pindah rumah. Yang lainnya dipikir belakangan. Tidak bisa seperti itu. Meski yang memerintahkan adalah presiden negara. Sebab yang namanya ibu kota itu bukanlah open legal policy. Ia juga bukan kebijakan hukum terbuka bagi presiden termasuk halnya dengan DPR. Jadi, tidak bisa mereka memindahkan Ibukota kemana saja dia mau”.
Dalam masa perjalanannya, dalam masa darurat, ibu kota memang pernah dipindah. Apalagi pada kondisi perang. Bung Karno, menetapkan Jakarta Raya sebagai ibu kota dengan berbagai pertimbangan. Yang pertama adalah karena wilayah tersebut merupakan tempat menjahit bendera merah putih pertama kali. Yang kedua, tempat dimana lahirnya proklamasi. Awal mula memproklamirkan kemerdekaan hingga disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Di Jakarta lah tempatnya. Kata itulah yang akhirnya ditulis dalam UU No 10 tahun 1964 tentang penetapan Jakarta Raya sebagai ibu kota. Jadi, definisi ibu kota merupakan tempat rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Jika nanti ada daerah yang ditunjuk sebagai ibu kota, namun buka termasuk wilayah tempat memproklamirkan, maka itu bisa disebut inkonstitusional. Untuk memindahkannya, tentu tidak mudah karena harus mengubah banyak hal termasuk falsafah konstitusinya. Sampai saat ini undang-undang tersebut masih berlaku dan belum pernah dicabut peryataan itu. Misalnya, jika pemerintah bilang akan mencabut UU tersebut untuk memudahkan proses pemindahan ibu kota baru secara konstitusionl, tentu ini akan menjadi sebuah hambatan yang besar. Pasalnya, bagaimana caranya mencabut, jika tempat lahirnya proklamasi itu bukan lagi DKI Jakarta. Tentu tidak bisa kita merubah sejarah hanya untuk sebuah kepentingan memindahkan ibu kota. Butuh kajian mendalam dan tidak sebentar.
Permasalahan pemindahan ibu kota merupakan definisi yang sulit. Sama dengan jika kita mengatakan bahwa filosofi negara kita adalah Pancasila. Orang akan berdebat Panjang, karena dalam tataran konstitusi tidak ada dan pernah tertulis. Tapi bukan berarti sesuatu yang tidak ada, kemudan bisa kita nihilkan begitu saja. Sudah seharusnya ia hidup sebagai spirit perjuangan bangsa. Dalam kedudukannya, ia hidup sebagai wujud cinta rasa bangsa terhadap Pancasila. Dan itu tidak bisa hanya diubah dengan tulisan kertas dan huruf dalam legislasi. Itulah Pancasila. Itulah negara kesatuan. Itu juga termasuk tempat kelahiran poklamasi. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Definisi ibukota, tidak sesimpel ketika kita melihat potret negara lain memindahkan ibukotanya.
“Masak kita sebagai tuan rumah, pemilik tanah tumpah darah ini, tiba-taba masuk investasi disini, dikepung dengan bangunan tinggi, kemudian kita menyingkir ke wilayah lain. Bagaimana logikanya, kita menyingkir ke tempat lain? Harusnya kita tetap berdiri gagah di tengah kepungan”, kata Irmanputra mencoba menganalogikan tentang pemindahan ibu kota.
Ibu kota itu sesuatu yang fundamental. Apabila Juni nanti sudah ketok palu, dan ibu kota akan dipindah, tentu ini adalah langkah yang inkonstitusional. Selama ini sebenarnya masih wacana, belum ada ketukan. Tapi, yang kita tahu, sudah banyak gembar-gembor soal investor yang mau membangun calon ibu kota itu nantinya
“Dari praktek ketatanegaraan kita, kan tidak enak saja mau mengatakan. Dari mana dasar hukumnya mau mindahin ibu kota? UU ada, belum tentu akan ditentang kiri kanan. Kok mau main dipindahin saja. Padahal rakyat juga belum dimintai persetujuan dan itu tidak mudah. sebab ada factor historis, spirit jika itu menyangkut soal ibu kota”, tegas Iman.
Dibalik santernya isu dan wacana soal pemindahan ibu kota, tentu saja niat baik apapun tidak mudah dilaksanakan oleh pemerintah, ketika itu bisa menabrak hal-hal yang fundamental dan filosofis, dari sebuah sistem yang kita terapkan seperti Pancasila, NKRI dan ibu kota. Jadi intinya, untuk memindahkannya butuh perjalanan panjang dan kajian mendalam. Apalagi mengingat sejarah penetapannya yang diperjuangkan dengan sepenuh jiwa.
Jangan lupa dengarkan podcast NGOPI HUKUM by IDLC di Spotify
Referensi :
– UU No 10 tahun 1964
– Ahli Hukum Tata Negara, Dr. A. Irmanputra Sidin, SH, MH,